Assalamu'alaikum,
Ketika masih kuliah, saya merupakan akhwat yang dicap jutek dan nggak friendly. Bukan di kalangan mahasiswa umumnya, tapi justru di lingkaran para akhwat-akhwat yang sama-sama mengaji. Lucu ya? Padahal di fakultas, atau di kelas, saya termasuk teman yang dipandang biasa-biasa saja. Maksudnya..., ya biasa saja. Nggak yang hobi cari perhatian dosen atau jadi trendsetter, nggak juga yang sok sibuk jadi aktivis. Saya selalu berusaha jadi teman sekelas yang menyenangkan sekaligus mahasiswa biasa yang aktif kuliah. Meski begitu, ternyata ketika bersama teman pengajian saya tidak dipandang seperti itu.
Pernah suatu hari, beberapa senior mendudukkan saya di masjid kampus. 3 orang, tepatnya. Dengan serius seperti mau mengadili kader yang kepergok pacaran, mereka menanyakan satu hal yang menurut saya awkward tapi sanggup mengubah saya sampai sekarang. "Do you love us? If you do, then please, smile and tell us." Bisa bayangkan bagaimana ekspresi wajah saya ketika mendapat pertanyaan itu? Seperti ini;
Sebagai orang yang introvert, saya memang nggak terlalu mau banyak bicara. Semua teman tahu akan hal itu. Tapi ketika orang-orang terdekat merasa tidak dicintai hanya karena saya tidak mengatakannya, saya merasa sangat aneh. Pertanyaan saya waktu itu, "Harus banget gitu ya bilang 'saya sayang sama kalian'?" Dan mereka bilang, iya. Sepenting itu untuk mengetahui bahwa saya mencintai mereka. Karena dengan begitu mereka bisa merasakannya. Karena ungkapan cinta secara verbal bisa membuat hati lebih damai, apalagi jika dibuktikan dengan perbuatan. Bukankah Rasulullah saw juga bersabda, “Apabila salah seorang kalian mencintai rekannya, seyogyanya ia mendatanginya di rumahnya dan memberinya tahu bahwa ia mencintainya karena Allah” (HR Ahmad)
***
Lanjutan dari cerita itu, sudahlah saya tak mau membahasnya lagi. Terlalu risih, rikuh dan kikuk buat saya. 😅 Tapi sekali lagi, dampak yang saya dapatkan yang ingin saya ceritakan di sini. Bahwa sejak saat itu, saya berubah. Saya mulai menyadari bahwa saya terlalu jujur ketika berada bersama mereka. Dan jujur bagi saya adalah menjadi diri sendiri, yang diam, tidak peduli, sibuk sendiri. Bagi saya yang penting saya bersama mereka. Saya bekerja dengan mereka. Saya melakukan hal yang sama dengan mereka. Maka saya adalah bagian dari mereka.
Tapi ternyata, menjadi manusia tidaklah seperti itu. Terlebih lagi, menjadi muslim tidaklah begitu. Saya tidak bisa seenaknya menjadi nyaman dengan diri sendiri sementara saudara saya sibuk menebak-nebak apa yang ada dalam perasaan saya. Ya, mereka sahabat yang sangat pengertian, selalu memberi uzur, dan berbaik sangka. Tapi hidup tidaklah selamanya begitu, manusia tidaklah sama semuanya. Benar, saya harus menjadi diri sendiri di manapun berada. Tapi ada hal-hal yang harus diusahakan ketika bersama dengan manusia lainnya. Bukan sekadar untuk mencari simpati atau cinta mereka, tapi lebih dari itu, untuk menjadi muslim yang dikehendaki Allah dan diajarkan Rasulullah saw. Bahwa muslim adalah orang paling mudah diakrabi, dan ringan senyumnya.
Rasulullah sendiri adalah manusia yang ringan tersenyum, walaupun selalu serius dalam berbagai urusan. Banyak orang terpikat dengan kepribadiannya yang mudah akrab bahkan sejak pertama bertemu. Lalu di manakah saya yang dengan egois berpikir, "memang beginilah saya, mau terima silakan. Nggak juga nggak pa-pa." Lalu bagaimanakah saya mendaku menjadi duta Islam jika ternyata diri sendiri tidak menjadikan akhlak Rasulullah sebagai panduan?
***
Lalu apakah setelah itu saya menjadi orang yang warm hearted?! Nggak juga sih 😂. Saya tetaplah jutek, lugas bicara, mistress judge dan tidak menyenangkan. Tapi setidaknya saya selalu berusaha untuk membuat kesan pertama yang cukup nyaman bagi orang lain. Saya tahu bahwa tidak bisa meminta orang lain memahami diri saya jika saya tidak pernah berusaha memahami mereka. Saya pun akhirnya menyadari bahwa jika saya bukan orang yang menyenangkan, maka saya tidak bisa komplain jika menemui orang yang ternyata juga tidak menyenangkan. Dan saya tahu bahwa manusia bisa berubah menjadi lebih baik jika dia mau belajar, dan memahami. Menyingkirkan ego dan sedikit ramah pada perbedaan.
Saya membagikan cerita ini karena kini setelah menjadi seorang guru, yang bertemu remaja setiap waktu, sering menemukan pribadi saya yang dulu pada diri mereka. Yang merasa bahwa lingkungan sekitarnya terlalu banyak menuntutnya, tidak memahami dirinya, dan merasa tersudut dengan pikiran-pikiran semacam itu. Saya memahami perasaan itu, because I was totally there. Tapi dengan mempertahankan diri dan menjaga ego 'inilah saya' tidak akan membuat semuanya jadi lebih baik.
Saya ingin berpesan kepada siapapun yang sedang merasa kesulitan untuk berbaur dengan orang lain; belajarlah memahami, dan kamu akan dipahami. Dan tentu saja, lakukan itu bukan untuk menusia, tapi untuk meraih cintanya Allah. Karena dengan begitu, hati akan lebih ringan mengamalkannya. Dan dada akan lebih lapang menerima penolakan manusia.
0 Comments