Syubhat Tasyabbuh

“Barangsiapayang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya” (HR. Abu Daud no. 4031dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma- dan dishohihkan oleh Al-Albany dalamAsh-Shohihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Kita semua tentulah sudah sangat familiar dengan hadits tersebut. Hadits ini jadi landasan/dalil untuk mengharamkan perbuatan yang menyerupai kaum kafir yang kita kenal dengan istilah tasyabbuh.

Menurut bahasa, tasyabbuh adalah bentuk masdar dari kata kerja tasyabbaha (تشبه) adalah salah satu asal yang menunjukkan penyerupaan sesuatu, kesamaan warna, dan sifat. Tasyabbuh memiliki arti menyerupai atau mencontoh. Berdasarkan istilah, Imam Muhamad Al Ghozi Asy Syafi'i menyebut tasyabbuh sebagai ungkapan yang menunjukkan upaya manusia untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengannya dalam hal tingkah laku, pakaian, atau sifat-sifatnya. Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah yang dibuat-buat yang diinginkan dan dilakukannya.

Al-Manawi ketika ditanya mengenai hadits di atas menjelaskan bahwa tekstualnya adala hberdandan sebagaimana dandanan mereka, berusaha bertingkah laku sesuai perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak mereka, berjalan pada jalan mereka,mengikuti mereka berkenaan dengan pakaian dan sebagian perbuatan, yakni tasyabbuh yang sesungguhnya adalah dengan yang diinginkan berkenaan dengan aspek lahir maupun batin.

Hukum tasyabbuh ini sebenarnya sudah jelas terlarang. Banyak teks dalil yang sangat jelas melarang hal itu, baik secara umum maupun khusus. Diantaranya dalam surat Al Hadid 16 :
“…dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan AlKitab sebelumnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."

Ibnu Katsir berkata menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsipil) maupun yang hanya merupakan furu’ (perkara cabang)”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata mengenai hadits di atas, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhohir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka. …Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.

Oleh karena pentingnya masalah tasyabbuh ini, maka kemudian Rasulullah seringkali mengingatkan para sahabatnya untuk berhati-hati. Beberapa syari’at juga diturunkan untuk bermaksud menyelisihi kebiasaan kaum kafir. Diantaranya seperti makan sahur yang bertujuan menyelisihi puasanya ahli kitab. Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot untuk menyelisihi kaum musyrik.

Permasalahan yang sekarang sering kita jumpai terkait dengan hal ini adalah adanya budaya-budaya baru dari luar Islam yang tampaknya begitu mudah diterima oleh umat muslim. Entah karena ketidaktahuan atau masa bodoh pada aturan, masyarakatkita –muslim khususnya- tampak seperti tak peduli jika budaya yang ditirunya itu sebenarnya adalah milik kaum kuffar. Yang jelas terlihat adalah perayaan-perayaan yang sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam dan sudah jelas sebagai perayaan agama lain; Tahun Baru Masehi misalnya, atau Valentine Day.

Hingga yang samar namun sering menjerumuskan dan justru menimbulkan fitnah di kalangan umat Islam sendiri. Merayakan hari ulang tahun contohnya, dan yang paling sering membuat saya galau adalah model-model jilbab yang kini marak bertebaran dipakai para muslimah. Banyak kalangan yang menganggap model-model jilbab tersebut menyerupai bentuk penutup kepala para biarawati nasrani.

Hal inilah yang mungkin perlu dikaji lebih lanjut. Sebenarnya, batasan-batasan seseorang melakukan tasyabbuh itu yang seperti apa? Pada kasus jilbab, terus terang saya sendiri masih belum berani mengatakan para muslimah itu tasyabbuh. Walaupun memang tentu saja mereka memakainya karena ikut-ikutan trend yang sedang berkembang saat ini. Namun saya sangat yakin, bahwa para muslimah yang berjilbab seperti itu telah berniat untuk menunaikan perintah agama semampu mereka.

Beberapa kalangan sangat keras mengatakan bahwa perayaan hari ulang tahun adalah bentuk tasyabbuh, terlebih jika itu perayaan hari lahir Rasulullah saw. Di negara kita maulid nabi bahkan menjadi hari libur nasional. Nah, bagi saya masalahnya di sini bukan pada tasyabbuhnya. Akan tetapi lebih kepada sisi lainnya. Mungkin karena kedangkalan ilmu, saya sepakat pada apa yang disebutkan oleh Komarudin Hidayat, bahwa manusia Indonesia ini adalahjenis homo festivus yaitu makhluk yang suka dengan perayaan yang bersifat massif, publis disertai ekspresi yang plural. Masyarakat Indonesia memang suka pada perayaan-perayaan. Selain itu, kecenderungan homo ludens juga telah membuat masyarakat kita begitu bersemangat dalam berusaha meraih kegembiraan dan kebahagiaan dalam menikmati permainan kehidupan. Jadilah kita –muslim Indonesia-menjadi muslim yang begitu banyak melakukan perayaan untuk sekadar memperingati hari-hari tertentu.

Terlepas dari benar atau salahnya pendapat saya, alangkah baiknya jika kita merujuk penjelasan dari Ibnu Utsaimin mengenai tasyabbuh ; “Tasyabbuh terhadap orang-orang kafir bisa terjadi pada penampilan, pakaian, makanan, dan yang lainnya; karena ia merupakan kata yang masih (bersifat) umum. Maknanya adalah seseorang melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas orang-orang kafir dimana itu ditunjukkan ketika ada orang lain melihatnya, maka orang tersebut menyangkanya sebagai orang kafir. Demikianlah persisnya. Namun jika ada sesuatu yang telah umum tersiar di kalangan kaum muslimin dan orang-orang kafir, maka tasyabbuh itu diperbolehkan; meskipun asal sesuatu itu terambil dari orang-orang kafir selama statusnya tidak haram seperti misal memakai pakaian sutera (bagi laki-laki)”.


Post a Comment

0 Comments