Era digital kini memberi banyak kemudahan bagi kita. Segala
macam berita atau informasi apapun dapat kita akses dalam waktu sekejap
dengan hanya membuka PC atau gadget tertentu. Pun dalam memenuhi dahaga
intelektual, kini ada buku digital yang memudahkan kita sehingga tak
perlu membawa tas berat yang sarat muatan buku. Cukup klik, maka buku
dengan tebal hingga ratusan bahkan ribuan halaman akan dapat kita baca
dengan mudah.
Namun bagi saya, membaca buku dalam format
digital atau elektronik itu sangat menyiksa. Bahkan sebelum mata saya
divonis menderita Asigmatic-Eye, saya tak pernah antusias jika diberi
e-book. Saya terkadang heran, bagaimana caranya orang-orang
menyelesaikan tugas baca buku dengan membacanya di laptop atau Ipad.
Karena bagi saya, membaca e-book itu tak ada sensasinya. Saya tidak bisa
mendengar suara gesekan kertas ketika membolak-balik halaman dengan
perlahan, dan tentu saja perih di mata karena harus fokus pada layar
monitor.
Selama ini, saya belum pernah khatam membaca buku
dengan format digital yang saya miliki. Pernah saya sangat tertarik
pada Sarinah-nya Soekarno yang 6 jilid itu, setelah di download saya
bahkan tidak berhasil mengkhatamkan jilid 1 karena malas. Tidak bernafsu
menamatkan, padahal isinya sangat menarik. Belum lagi bertemu dengan
Capita Selecta yang juga tak kalah tebal. Sedih sendiri saya, karena
buku-buku seperti itu sudah sangat langka versi cetaknya, bahkan mungkin
sudah tidak cetak lagi. Sementara saya sangat menderita jika membaca
e-booknya yang juga masih menggunakan ejaan aslinya; jadoel. Perlu
konsentrasi ganda.
E-book atau buku digital memang
memberikan banyak kemudahan dari segi akses dan efisiensi. Hal yang
tentu saja tidak bisa didapat dari buku versi cetak. Tapi bagi orang
yang seperti saya, posisi buku versi cetak tetap tak bisa digantikan.
Ada sensasi yang hilang ketika membuka e-book. Tidak seperti ketika
membaca buku beneran. Terlebih dengan kondisi mata yang makin rabun.
Rasanya saya akan makin berpikir ulang untuk membaca e-book.
0 Comments