Menjadi Kader KAMMI yang ‘Dapat membaca Al-Qur’an'

Kita memang patut berbangga hati. Sebagai kader dakwah yang terbina dalam proses tarbiyah, kita selalu dikontrol oleh sistem yang mengharuskan kita berinteraksi akrab dengan ayat-ayat suci. Dalam halaqoh pekanan, kita juga selalu mengkaji setidaknya satu atau dua ayat Al-Qur’an. Kita baca tafsirnya, kita men-tadabburi, la
lu mencoba untuk mengamalkannya dalam kehidupan keseharian kita.

Pada awalnya, saya sangat bersyukur ketika bertemu dengan komunitas ini. Para pemuda muslim yang memiliki semangat mengamalkan Islam yang begitu menggelora bagai api yang tak bisa padam. Sebagai seorang jebolan pesantren, saya dulu bahkan sangat iri pada gelora yang dimiliki para pemuda ini. Mereka shalat di awal waktu dengan berjama’ah, menjaga amalan sunnah, dan membaca Al-Qur’an setiap ada waktu senggang di sela padatnya aktivitas mereka.

Namun akhirnya,ternyata saya pun harus mengakui bahwa memang tetap tak ada gading yang tak retak. Gelora yang dimiliki oleh para kader ini ternyata seringkali tak seimbang dengan kapasitas yang dimiliki. Ini bukan tentang kemampuan berdiplomasi dan membangun jaringan, bukan pula kemampuan manajerial atau problem itqonul ‘amal. Ini tentang kemampuan ilmu ke-Islam-an, terkhusus hubungan kita –para kader KAMMI- dengan Al-Qur’an. Kita, ternyata selama ini –dari yang saya amati- kurang menaruh perhatian pada satu hal ini. Kita sibuk bicara tentang permasalahan umat, tapi ternyata lupa mengisi hati yang selama ini sering kita katakan –harus sudah selesai oleh kita sendiri-.

Kader KAMMI biasanya pandai ketika berbicara politik dan permasalahan sosial yang lain, fasih menawarkan solusi-solusi Islam terhadap permasalahan kontemporer yang sulit terpecahkan. Tapi malu hati saya ketika misalnya, ternyata ada kader yang bahkan tak tahu cara menjama’ shalat. Terlebih lagi, ngilu telinga ini ketika mendengar seorang AB3 yang terpatah-patah ketika membaca Al-Qur’an. Tentu saja,ini masalah serius –setidaknya bagi saya-. Bagaimana mungkin seorang kader dakwah tak punya kemampuan dasar ke-Islam-an yang paling dasar? Masalahnya tentu bukan pada sarana dan prasarana belajar yang tak mendukung, tapi ketika saya amati ternyata justru pada kemauan kader itu sendiri untuk belajar.

Dauroh Qur’an; Butuh Perhatian

Dalam Anggaran Rumah Tangga KAMMI jelas tertulis, bahwa yang dapat menjadi personalia pengurus KAMMI dari struktur Pusat hingga Komisariat adalah kader dengan status yang telah ditentukan dan memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an. Sayangnya, tak pernah ada penjabaran yang pasti mengenai persyaratan ini. Dulu ketika saya masih menjadi kader baru, saya pernah usulkan tambahan syarat untuk calon ketua komisariat; Mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Namun usul saya tidak diterima. Alasannya, -baik dan benar versi siapa yang mau dipakai?- dan –jika ingin syarat yang memenuhi standar tajwid, maka tak akan ada calon yang layak- hingga akhirnya saya diyakinkan bahwa –semua kader KAMMI pasti rajin membaca Al-Qur’an-.

Saya pun berbaik sangka, dan memang tak bisa menyangkal bahwa interaksi kader KAMMI denganAl-Qur’an memang baik. Tapi bukan berarti itu menjamin kualitas bacaannya,kan?! Karena lagi-lagi, sering kali saya menemukan kader yang tragis bacaan Al-Qur’annya. Jika ada yang bacaannya baik, bisa dipastikan dia pernah mampir di pesantren atau memang dari kecil rajin mengaji di TPA. Selebihnya, memprihatinkan.

Maka saya menduga, adanya Dauroh Qur’an dalam proses perkaderan KAMMI adalah upaya untuk meningkatkan motivasi kader untuk memperbaiki kualitas interaksi dan bacaan Al-Qur’an mereka. Akan tetapi, belajar Al-Qur’an bukanlah seperti kursus memasak yang cukup dihafal resepnya dan bisa langsung dicoba sendiri di rumah. Belajar Al-Qur’an butuh kesabaran, dan “wajib”  berguru. Oleh karena itu, butuh formulasi yang memungkinkan kader-kader KAMMI untuk mau belajar Al-Qur’an lebih jauh lagi.

Saya sendiri masih belum tahu sarana apa yang bisa membangkitkan semangat kader untuk belajar membaca Al-Qur’an. Berdasarkan pengalaman, program-program pembinaan dan bimbingan Tahsin yang pernah diselenggarakan LDK nyatanya juga tak cukup efektif untuk mendongkrak kualitas bacaan Al-Qur’an kader. Sandungannya selalu;jika bukan karena kurangnya mentor pasti karena kadernya yang tak konsisten. Lalu, menghadapi persoalan ini apa yang harus kita lakukan?

Post a Comment

2 Comments