Sore ini saya teringat, ketika dulu sempat menjadi santri walau hanya sebentar. Kenangan-kenangan ketika mengkaji kitab, sorogan, musyawirin,
dan kegiatan-kegiatan lain yang dulu sangat menjemukan, kini menjadi
sangat saya rindukan. Ternyata, banyak hal yang dulu saya persoalkan
terjawab kini ketika saya sudah meninggalkan pesantren. Salah satunya
tentang larangan menghafal Al-Qur'an di pesantren saya.
Dulu saya sempat mempertanyakan, mengapa para santri dilarang menghafal Al-Qur'an? Padahal Al-Qur'an adalah sumber ilmu utama umat Islam. Sementara itu, santri-santri wajib menghafal kitab-kitab nahwu sesuai dengan level atau kelasnya masing-masing. Setiap santri yang ingin menghafal Al-Qur'an harus meminta izin terlebih dahulu kepada Abah, dan hampir semua yang meminta izin itu tak berhasil mendapatkan restu. Saya berfikir, aneh sekali pesantren ini. Bagaimana mungkin seorang Kyai bisa melarang santrinya menghafal Al-Qur'an, padahal menghafal Al-Qur'an adalah ibadah yang menjanjikan syafa'at.
Namun sekarang, saya mengerti. Bukan berarti Abah tidak mengizinkan santrinya menghafal. Bahkan pesantren tempat saya belajar dulu menaruh perhatian sangat besar pada Al-Qur'an. Saya baru merasakan manfaatnya saat ini, ketika saya tak lagi belajar di sana.
Di pesantren, kegiatan pagi hari ba'da shalat subuh dan sore hari ba'da maghrib adalah sorogan Al-Qur'an. Para santri dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan 7 sampai 12 orang dan dipandu oleh seorang guru.
Para gurunya merupakan santri-santri yang sudah lebih senior yang jadwal sorogannya beda dengan kelompok binaannya. Kegiatan ini diikuti oleh semua santri, semua usia. Sorogan Al-Qur'an ini menggunakan metode talaqqi dengan media buku Iqro' sebagai pegangan santri. Semua santri baru wajib memulai sorogan Al-Qur'an dari Iqro' jilid 1. Saya yang ketika masuk pesantren sudah cukup lancar membaca Al-Qur'an sempat kaget ketika diharuskan membeli buku Iqro' jilid 1. Untungnya saya tetap menuruti aturan itu (karena memang tidak ada pilihan lain).
Setiap 6 bulan sekali, kelompok sorogan ini akan dirombak sesuai dengan hasil belajar santri selama belajar dengan gurunya yang lama. Bagi yang kwalitas bacaannya meningkat, maka ia akan naik tingkat juga dan mendapat guru yang lebih tinggi levelnya. Begitu seterusnya hingga yang tertinggi levelnya adalah kelompok yang sorogan dengan Nyai. Bagi yang belum ada peningkatan, maka tidak akan naik tingkat.
Sorogan hanya berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit, tapi karena rutin dilakukan setiap hari maka dalam waktu tak sampai 4 bulan, 6 jilid buku Iqro' sudah selesai dikhatamkan. Ketika sorogan Al-Qur'an ini tidak diajarkan teori ataupun ilmu tajwid kepada santri. Santri hanya harus mengikuti bagaimana gurunya membaca selama beberapa kali sampai sang guru merasa bacaan si santri sudah sesuai dengan yang diharapkan. Alhasil, selama 10 bulan berada di pesantren saya telah menyelesaikan talaqqi Al-Qur'an walaupun baru dengan 2 orang guru.
Para santri belajar teori tajwid di kelas, bahkan kami -para santri- belajar teori tajwid 2 kali dalam seminggu dengan 2 kitab yang berbeda di masing-masing kelas. Jadi, jika seseorang 'awet' nyantri, maka dia akan belajar kurang lebih sekitar 10 kitab tajwid sambil tetap mentalaqqi bacaan Al-Qur'annya berkali-kali, berulang-ulang.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya kembali menjadi santri di Pesantren Mahasiswa Daarul Hikmah saya dipertemukan Allah dengan Ust. Hartanto Al-Hafidz yang membuka pikiran saya. Dalam salah satu sesi, beliau mengatakan bahwa ketika seseorang hendak menghafal Al-Qur'an sementara tahsinnya tidak baik maka hafalannya pun nilainya menjadi -NOL- bahkan bisa jadi -MINUS-.
Memikirkan ini, saya baru tersadar bahwa ternyata larangan menghafal Al-Qur'an di pesantren saya waktu itu bukan karena pesantren tidak memperhatikan Al-Qur'an. Namun karena pengelola pesantren menyadari, bahwa sebelum seseorang menghafal Al-Qur'an ia haruslah terlebih dahulu membaguskan bacaan Al-Qur'annya. Jika pesantren tidak peduli dengan Al-Qur'an, tidak mungkin santri wajib sorogan Al-Qur'an tiap hari 2 kali dan mengkaji kitab tajwid bahkan menghafalnya selama menjadi santri.
Lalu saya berpikir, bagaimana menyesuaikan semangat menghafal Al-Qur'an bagi generasi muslim kini yang begitu menggebu namun tak diimbangi dengan semangat memperbaiki kwalitas bacaannya?
Dulu saya sempat mempertanyakan, mengapa para santri dilarang menghafal Al-Qur'an? Padahal Al-Qur'an adalah sumber ilmu utama umat Islam. Sementara itu, santri-santri wajib menghafal kitab-kitab nahwu sesuai dengan level atau kelasnya masing-masing. Setiap santri yang ingin menghafal Al-Qur'an harus meminta izin terlebih dahulu kepada Abah, dan hampir semua yang meminta izin itu tak berhasil mendapatkan restu. Saya berfikir, aneh sekali pesantren ini. Bagaimana mungkin seorang Kyai bisa melarang santrinya menghafal Al-Qur'an, padahal menghafal Al-Qur'an adalah ibadah yang menjanjikan syafa'at.
Namun sekarang, saya mengerti. Bukan berarti Abah tidak mengizinkan santrinya menghafal. Bahkan pesantren tempat saya belajar dulu menaruh perhatian sangat besar pada Al-Qur'an. Saya baru merasakan manfaatnya saat ini, ketika saya tak lagi belajar di sana.
![]() |
Image via helw.net |
Di pesantren, kegiatan pagi hari ba'da shalat subuh dan sore hari ba'da maghrib adalah sorogan Al-Qur'an. Para santri dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan 7 sampai 12 orang dan dipandu oleh seorang guru.
Para gurunya merupakan santri-santri yang sudah lebih senior yang jadwal sorogannya beda dengan kelompok binaannya. Kegiatan ini diikuti oleh semua santri, semua usia. Sorogan Al-Qur'an ini menggunakan metode talaqqi dengan media buku Iqro' sebagai pegangan santri. Semua santri baru wajib memulai sorogan Al-Qur'an dari Iqro' jilid 1. Saya yang ketika masuk pesantren sudah cukup lancar membaca Al-Qur'an sempat kaget ketika diharuskan membeli buku Iqro' jilid 1. Untungnya saya tetap menuruti aturan itu (karena memang tidak ada pilihan lain).
Setiap 6 bulan sekali, kelompok sorogan ini akan dirombak sesuai dengan hasil belajar santri selama belajar dengan gurunya yang lama. Bagi yang kwalitas bacaannya meningkat, maka ia akan naik tingkat juga dan mendapat guru yang lebih tinggi levelnya. Begitu seterusnya hingga yang tertinggi levelnya adalah kelompok yang sorogan dengan Nyai. Bagi yang belum ada peningkatan, maka tidak akan naik tingkat.
Sorogan hanya berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit, tapi karena rutin dilakukan setiap hari maka dalam waktu tak sampai 4 bulan, 6 jilid buku Iqro' sudah selesai dikhatamkan. Ketika sorogan Al-Qur'an ini tidak diajarkan teori ataupun ilmu tajwid kepada santri. Santri hanya harus mengikuti bagaimana gurunya membaca selama beberapa kali sampai sang guru merasa bacaan si santri sudah sesuai dengan yang diharapkan. Alhasil, selama 10 bulan berada di pesantren saya telah menyelesaikan talaqqi Al-Qur'an walaupun baru dengan 2 orang guru.
Para santri belajar teori tajwid di kelas, bahkan kami -para santri- belajar teori tajwid 2 kali dalam seminggu dengan 2 kitab yang berbeda di masing-masing kelas. Jadi, jika seseorang 'awet' nyantri, maka dia akan belajar kurang lebih sekitar 10 kitab tajwid sambil tetap mentalaqqi bacaan Al-Qur'annya berkali-kali, berulang-ulang.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya kembali menjadi santri di Pesantren Mahasiswa Daarul Hikmah saya dipertemukan Allah dengan Ust. Hartanto Al-Hafidz yang membuka pikiran saya. Dalam salah satu sesi, beliau mengatakan bahwa ketika seseorang hendak menghafal Al-Qur'an sementara tahsinnya tidak baik maka hafalannya pun nilainya menjadi -NOL- bahkan bisa jadi -MINUS-.
Memikirkan ini, saya baru tersadar bahwa ternyata larangan menghafal Al-Qur'an di pesantren saya waktu itu bukan karena pesantren tidak memperhatikan Al-Qur'an. Namun karena pengelola pesantren menyadari, bahwa sebelum seseorang menghafal Al-Qur'an ia haruslah terlebih dahulu membaguskan bacaan Al-Qur'annya. Jika pesantren tidak peduli dengan Al-Qur'an, tidak mungkin santri wajib sorogan Al-Qur'an tiap hari 2 kali dan mengkaji kitab tajwid bahkan menghafalnya selama menjadi santri.
Lalu saya berpikir, bagaimana menyesuaikan semangat menghafal Al-Qur'an bagi generasi muslim kini yang begitu menggebu namun tak diimbangi dengan semangat memperbaiki kwalitas bacaannya?
0 Comments