Sejak masih kecil saya sudah bercita-cita menjadi ibu rumah tangga. Kalau ditanya alasannya, tegas saya akan bilang "saya tidak ingin seperti ibu". Pasalnya, ibu saya adalah pekerja keras. Beliau punya bisnis yang --menurut saya ketika itu-- membuat saya tidak bisa bersamanya setiap waktu. Saya tidak bisa seperti teman-teman saya yang disambut ibunya di rumah tiap pulang sekolah. Saya harus bawa kunci rumah sendiri. Buka pintu sendiri, makan sendiri, mondar-mandir sendiri di rumah kayak orang bego sampai asar terus ngaji. Pulang menjelang maghrib dan orang tua saya masih kecapekan, malamnya mereka nyuruh saya belajar sampai ketiduran. Saya nggak suka hidup yang kayak gitu. Saya ingin jadi anak-anak yang selalu ada orangtua di samping saya.
Tapi kemudian, ketika akhirnya beliau memilih untuk menjalankan bisnis dari rumah, saya tetap merasa kesepian. Bahkan saya merasa lebih kehilangan ketika bisnis ibu makin tumbuh besar. Sampai kemudian saya menyimpulkan bahwa bukan jarak yang membuat saya kehilangan ibu. Tapi hal lain, yang entah apa itu. Lalu saya mulai berpikir, apakah kebersamaan menjadi begitu penting bagi orang tua dan anak? Kalau ternyata setelah ibu di rumah saya tetap merasa sendiri, lalu apa yang bisa bikin saya bahagia sebagai seorang anak? Dan sekarang setelah saya punya anak, saya --sepertinya-- mulai mengerti. Dari sudut pandang orangtua dan anak, bagaimana menjalin hubungan yang baik antara anak dan orangtua --khususnya ibu--. Walaupun masih banyak salahnya, saya kemudian mencoba untuk memperbaiki cara asuh orangtua saya dulu agar tidak saya lakukan ke anak-anak saya. Dan kemudian saya menyadari, ternyata walaupun saya dulu sangat membenci cara mendidik orangtua saya justru apa yang mereka ajarkan itulah yang sangat berguna untuk saya sekarang.
Setelah dewasa dan kuliah, saya mulai akrab dengan berbagai informasi mengenai dunia psikologi. Apalagi karena saya orang yang 'sulit', saya perlu mempelajari cara berkomunikasi dengan orang-orang sekitar saya agar mudah diterima. Berbagai buku mengenai pengembangan karakter dan kepribadian saya baca, dan saya mulai menyadari bahwa saya bukan satu-satunya orang 'aneh' di dunia ini. Itu sangat membantu mengembalikan kepercayaan diri saya (he he he...) Kemudian saya menjadi guru, muncul ilmu baru yang mulai menarik hati saya; "parenting".
Saya cukup antusias ketika di sekolah tempat saya mengajar mengadakan seminar parenting untuk guru. Lalu saya mulai membaca-baca buku tentang parenting, dan artikel-artikel di internet. Tapi tidak perlu waktu lama, saya sudah langsung bingung dengan teori-teori parenting yang menurut saya aneh dan sulit untuk diterapkan. Apa saja itu, sepertinya tidak perlu saya tuliskan karena saya khawatir nanti jadi perdebatan. (Kayak ada yang baca tulisan saya aja, ha ha..)
Yang paling jelas dan pasti, pertentangan saya dengan teori parenting adalah ketika teori-teori itu berbeda dengan konsep beragama yang sudah tertanam dalam diri saya sejak masih sangat kecil. Ditambah dengan buruknya karakter remaja jaman sekarang yang menurut saya jauuuuh lebih buruk dari jaman saya remaja, membuat saya yakin bahwa ada yang salah dengan ilmu parenting ini. Oke anak dan remaja sekarang adalah hasil didikan orangtua jaman sebelumnya, tapi kerusakan moral anak muda sekarang ini berbarengan dengan ramenya trainer dan motivator parenting yang bermunculan.
Saya memang tidak pernah ikut seminar-seminar parenting yang diadakan oleh para guru-guru parenting yang terkenal itu. Dan saya yakin mereka pasti punya ilmu dan pengalaman yang baik mengenai pendidikan anak. Tapi karena training yang saya ikuti di sekolah hampir selalu diisi oleh murid-murid mereka, saya jadi merasa tidak perlu lagi untuk mengikuti sekolah-sekolah orangtua itu dan mencukupkan diri dengan buku-buku pendidikan anak yang saya rasa layak untuk kami pelajari dan terapkan ke anak-anak saya.
Kebetulan beberapa waktu lalu suami iseng beli sebuah falshdisk berisi audio ceramah dan kuliah parenting dari beberapa narasumber. Baru memutar satu materi, dia sudah tidur-tiduran sambil mainan handphone. Saya tanya, "kok nggak didenger lagi? Pusing ya?" Jawab suami saya, "Iya." Jadilah kami bersepakat untuk mengambil hal-hal baik yang kami dengar atau lihat dan menjadikan pengalaman belajar kami sebagai panduan untuk mendidik anak.
Saya bukan mau menyalahkan ilmu parenting yang ada sekarang. Saya hanya ingin merefleksi saja, untuk diri saya sendiri. Bahwa ternyata menjadi orangtua tidak sesulit kuliah kedokteran kok. Tapi juga tidak semudah membuat nasi goreng --walaupun banyak yang nggak bisa bikin nasi goreng enak--. Akhirnya saya memilih untuk tidak terlalu pusing dengan berbagai macam teori parenting itu. Saya hanya akan melakukan apa yang menurut saya baik untuk anak-anak saya berdasarkan pengalaman saya sebagai anak dan sebagai manusia. Khususnya sebagai muslim, saya hanya ingin mendidik anak saya sesuai dengan anjuran agama. Bukan berarti menolak semua konsep di luar Islam, tapi saya hanya meyakini bahwa Islam sudah punya konsep yang jelas dan lengkap. Kitalah yang belum mempelajari semuanya. Lalu kalau belum belajar semua, mestinya kita tidak perlu ubyuk belajar ke mana-mana kan?!
0 Comments