Embel-embel


Pixabay.com
Seringkali saya merasa geli kalau melihat pamflet-pamflet atau poster suatu acara motivasi atau apapun itu, karena melihat bagaimana penyelenggara 'menjual' acaranya dengan mencantumkan prestasi atau gelar pengisi acara. Mungkin itu salah satu strategi marketing supaya acaranya sukses. Tapi belakangan, saya makin merasa itu sebagai sesuatu yang berlebihan. Apalagi setelah saya mengalami sendiri ketika diminta mengisi suatu acara dan saya tidak bisa menyebutkan prestasi yang saya miliki. Sampai akhirnya panitia membubuhi gelar untuk saya, sesuatu yang sebenarnya sangat tidak menggambarkan diri saya. Sampai saya berpikir, 'sepenting itukah gelar bagi seorang pemateri?'

Makin ke sini saya juga mulai berpikir lebih jauh tentang gelar ini. Sepertinya memang orang Indonesia sangat suka memakai gelar untuk menunjukkan eksistensinya. Lihat saja, orang bergelar haji hanya ada di Indonesia -dengan Malaysia-. Padahal, sepenting apa sih dipanggil haji sama orang? Bahkan ada orang yang tersinggung ketika namanya ditulis, gelar hajinya tak tersemat. Dari kebiasaan menambah gelar ini, akhirnya jadi budaya untuk menjadi 'orang hebat' agar bisa dihormati dan dihargai orang. Yang motivator ini lah, ustadz begitulah, penulis itulah, pengurus organisasi yang begini, ketua itu, dll. Saya sampai pernah tersenyum sendiri melihat nama seorang trainer dalam pamflet, namanya hanya satu kata tapi gelarnya Masya Allah, sebanyak sifat-sifat Allah.

Terus terang saya khawatir pada kebiasaan ini. Melabeli diri sebagai orang hebat agar diakui orang sebagai panutan, menurut saya itu mengerikan. Pada akhirnya orang-orang bergelar ini akan tersinggung jika tidak dihormati, merasa aneh ketika orang tidak mengenalnya, dan marah jika tidak diistimewakan.

Apa yang saya tulis ini bukan sekedar hipotesa sepertinya. Karena saya sendiri cukup sering menjumpai orang-orang bergelar yang butuh penghormatan ini. Sebagai orang yang cuek dan apa adanya, saya sering mengabaikan posisi dan jabatan seseorang ketika sedang berhadapan dengan orang lain. Lalu ternyata mereka sakit hati karena menurut mereka saya tak pantas berkata terlalu jujur pada orang-orang penting itu. What the hell?!

Alangkah mengerikannya gelar ini meracuni hati dan pikiran manusia? Kebenaran tertolak seketika hanya karena kedudukan dan embel-embel yang -mirisnya- seringkali dibuat sendiri. Hanya karena ingin dikagumi dan dihormati, harus melabeli diri sebagai orang penting supaya orang lain tak bisa macam-macam padanya. Kehormatan macam apa itu?

Tapi lagi-lagi, pada akhirnya saya hanya bisa menjadikan ini sebagai alat mengukur diri. Sambil berlindung kepada Allah dari sifat sombong yang tersembunyi semacam ini. Berharap saya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang norak dan kampungan yang sibuk menambah gelar hanya demi sebuah penghormatan dari manusia.

Post a Comment

0 Comments