Yang Jarang Kita Pedulikan tentang Perceraian


Beberapa waktu belakangan ini perhatian saya sering tertuju pada kasus perceraian tokoh muda muslim di Instagram yang lumayan ramai dibahas di infotainment. Mau nggak ngikutin ceritanya, tapi nongol terus di timeline instagram. Buka Youtube, video-video rekomendasi isinya gosip tentang dia. Akhirnya kepo juga sayanya. Kalian pasti sudah tahu siapa yang saya maksud.

Dan tulisan saya kali ini terinspirasi salah satunya karena adanya kasus si mamas ini. Walaupun sebenarnya judulnya sudah nangkring di draft lama sekali. Iya, saya sudah berencana untuk menulis tentang tema ini sejak tulisan saya tentang poligami itu dipublish. Yang belum tahu, silakan baca di sini.

Membicarakan perceraian memang sesensitif poligami. Entah kenapa, masyarakat kita masih memandang perceraian sebagai sesuatu yang tabu --kalau nggak boleh saya bilang hina--. Padahal, kasus perceraian makin hari makin meningkat yang artinya sebenarnya sekarang banyak orang yang nggak terlalu mikir untuk menceraikan pasangannya. Baik itu laki-laki maupun perempuan.

Orang sering memandang bahwa pasangan suami-istri yang bercerai itu nggak mau berpikir panjang, masih kekanak-kanakan, egois karena nggak mikirin nasib anaknya --bagi yang udah punya anak-- dan lain-lain. Bahkan ibu angkat saya dulu pernah berpesan kepada kakak ketika dia mau cari istri lagi setelah ditinggal meninggal istri pertamanya, untuk nggak memilih janda cerai. Alasannya karena orang yang bercerai itu pasti bermasalah, sesimpel itu. Aneh bagi saya, tapi kenyataannya memang begitu pandangan orang pada umumnya.

Ketika menyimak kasus si mamas Instagram ini pun saya melihat banyak yang melakukan judgement seperti itu. Di komen-komen instagramnya (saya lihat punya si mamas aja, karena punya mbaknya kolom komennya kan dimatiin) banyak yang menyayangkan perceraiannya. Ada yang menasihati untuk kembali rujuk dengan menceritakan permasalahan rumahtangganya secara singkat, tentunya dengan tujuan baik. Yang parah adalah yang menghujat itu, apalagi pakai kata-kata yang menurut saya nggak pantas. Pakai bawa-bawa hafidz Qur'an-nya, umur, masa lalu si istri, dan sebagainya. #istighfar

Orang-orang ini seperti tiba-tiba amnesia kalau ada anaknya ust. Arifin Ilham yang menikah di usia 17 tahun dan sekarang punya anak, bahagia tuh. Dan banyak contoh lain orang yang menikah muda, bahkan di bawah umur tetap bahagia di pernikahannya. Kakak ipar saya contohnya. Dan banyak juga yang sudah dewasa ketika menikah tapi ternyata gagal juga membangun rumah tangga. 

***

Orang tua kandung saya bercerai, kakak kandung saya bercerai. Btw yang pusing dengan keluarga saya silakan simak penjelasannya di sini. Dan banyak pasangan suami-istri yang bercerai, tentunya punya alasan kuat yang membuat mereka memutuskan untuk berpisah. Mungkin karena dalil bencinya Allah pada perceraian maka kemudian kita menganggap orang yang bercerai sebagai orang yang hina. Padahal yang dibenci sama Allah itu perceraiannya, buka orang yang bercerai. Jadi kenapa kita menghujat orangnya?

Sebenci-bencinya Allah dengan perceraian --dengan banyak dalil yang menguatkan-- kita harus tetap ingat bahwa cerai itu halal hukumnya bahkan diatur dengan sangat detil dalam Islam. Betapa Habiburrahman El-Shirazy dengan sangat apik menggambarkan bahwa perceraian bisa terjadi kepada siapa saja bahkan anak seorang kiyai sekalipun. Dan memang ada kalanya itu harus terjadi demi kebaikan yang lebih banyak. Alangkah banyak rumah tangga yang nggak sehat tetap bertahan tapi suami-istri saling menyakiti? Hanya karena alasan kasihan anak jika orang tuanya bercerai. Apakah dengan orang tuanya tetap bersama tapi saling menyakiti membuat anaknya bahagia?

Kita sering lupa bahwa ada kisah para sahabat yang diizinkan bercerai bahkan disuruh oleh Rasulullah. Bahkan tahukah kita, Rasulullah juga pernah sempat berpikir untuk menceraikan istri-istrinya karena masalah rumah tangga yang melanda beliau. Rasulullah tetaplah manusia, dan karena beliau manusia maka jadilah beliau sangat layak untuk diteladani. Ya, beliau tidak jadi bercerai tapi bukankah niatnya untuk bercerai itu menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan perceraian. Oleh karena itu beliau juga tidak tabu untuk menyuruh sahabatnya bercerai jika memang pernikahan tidak bisa lagi menjadi sarana ibadah kepada Allah.

Kita tentu tahu bagaimana kisah Abdullah bin Abu Bakar yang terpaksa menceraikan istrinya karena diperintahkan ayahnya. Alasannya sepele sepertinya; terlalu mencintai istri sampai lalai beribadah. Pada akhirnya memang mereka rujuk, tapi di sinilah pelajaran bagi kita bahwa tujuan pernikahan yang utama adalah untuk menambah kwalitas ibadah. Jika tidak tercapai, untuk apa dipertahankan? Kisah perceraian Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah juga mestinya jadi pelajaran bahwa kadangkala status sosial yang mengganggu perasaan pun bisa jadi masalah pelik dalam rumah tangga. 

Dan yang tidak bisa kita lupakan adalah tentang kisah Asma' binti Abu Bakar dan Zubair bin Awwam. Siapa yang meragukan keimanan mereka? Sama-sama pejuang, pembela Islam dan Rasulullah. Bahkan Zubair dijamin masuk surga. Tapi kenyataannya mereka bercerai. Lalu apakah percerian itu membuat mereka jadi hina? Mereka tetap mulia, tidak peduli bagaimana gagalnya kisah kehidupan rumah tangga mereka.

Saya juga baru tahu belum lama tentang kisah Asma' dan Zubair ini ketika menyimak kajian ust. Salim A. Fillah. Karena selama ini kisah tentang mereka hanyalah hal-hal baiknya saja. Dan mestinya itu yang jadi contoh untuk kita. Ketika ada yang bercerai, tidak perlu kita kuliti mereka dan cari tahu sampai dalam penyebab perceraiannya karena itu bukan urusan kita. Tapi lihatlah, Abdullah bin Zubair tetap jadi pahlawan Islam walaupun orang tuanya bercerai. Karena dia punya orang tua yang hebat, walaupun keduanya bercerai.

Post a Comment

0 Comments