Sebentar lagi sekolah mau masuk, dan saya harus sudah mulai menyiapkan diri dengan rutinitas yang membebani. Haha, beginilah kalau bekerja tanpa passion. Berat karena merasa terbebani dengan tugas-tugas yang nggak mengenakkan. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaan saya ini nyantai banget. Sama saja seperti tugas ibu rumah tangga biasa; mengurus anak. Tapi yang jadi masalah adalah yang saya urus adalah anak orang. Bukan anak saya sendiri. Di situlah dilemanya.
Tapi inilah hidup. Kita nggak bisa selalu dapat apa yang kita inginkan pada saat itu juga. Well, saya tetap yakin bahwa apapun yang kita inginkan bisa kita wujudkan. Kuncinya hanya pada usaha dan doa, serta keyakinan. Itu saja. Sampai saat ini, saya merasa usaha yang masih belum maksimal untuk meraih cita-cita yang membuat saya masih stuck di sini.
Jadi, yang mau saya ceritakan pagi ini adalah tentang uneg-uneg yang sudah lama sekali mengganggu pikiran saya. Draft tulisan ini bahkan sudah berbulan-bulan nangkring tanpa saya sentuh. Seperti biasa, saya selalu ragu untuk menulis hal-hal yang temanya seperti ini. Nanti dibilang skeptis lah, apa lah, ini lah, itu lah. Tapi karena uneg-uneg itu kalau nggak dikeluarkan bisa jadi penyakit lebih baik saya ungkapkan.
Ketika saya menulis tentang embel-embel beberapa waktu lalu, ada sebuah percakapan kecil dengan seorang teman yang membayangi saya mengenai hal itu. Dia bilang, inilah yang membuat bangsa kita dijajah beratus-ratus tahun dan kolonialisme di negara kita susah banget diilangin. Ya, bangsa kita / orang-orang kita --kebanyakan-- suka sekali dipuji --bahkan dipuja-- memakai gelar dan menjadi besar. Disamping itu, kita juga punya satu sifat yang menurut saya dampaknya benar-benar merusak; nggak enakan. Dulu pernah ada ya meme tentang sifat ini. Kalau nggak salah bunyinya; "Hati-hati sama sifat nggak enakan. Pamannya Rasulullah nggak jadi masuk Islam karna nggak enak sama orang lain" kurang lebih begitu. Dan itu benar.
Kita sama-sama tahu kan bagaimana kisah meninggalnya Abu Thalib yang menyisakan duka di hati Rasulullah. Salah satu pembela yang juga keluarganya, meninggal dalam keadaan musyrik hanya karena nggak enak sama pemuka-pemuka Quraisy yang saat sakaratul mautnya juga mendampingi di sisinya. Dan kita juga tahu, meskipun jasa Abu Thalib sedemikian besar untuk dakwah Rasulullah, tetap saja dia dimasukkan ke dalam neraka. Sedih, tapi itu kenyataan.
Kembali ke kita. Yang membuat saya seringkali kesal --terutama-- ketika berinteraksi dengan orang-orang dalam suatu urusan adalah kebiasaan menahan diri hanya karena nggak enak. Takut menyakiti perasaan karena kritikan yang seharusnya kita sampaikan, atau lebih parah lagi nggak enak karena orang itu punya kedudukan sehingga seharusnya kita yang tahu diri. Kalau sudah begini, saya cuma bisa melongo saja.
Saya benar-benar nggak habis pikir. Ketika kita sekarang sudah nggak mau lagi dibilang ketinggalan zaman, kenapa sifat-sifat orang jajahan ini masih saja dipelihara? Memangnya orang kalau sudah jadi pejabat terus nggak bisa salah? Memangnya kalau ustaz nggak bisa keliru?! Kalau menyampaikan kritik masih dianggap sebagai hujatan, saya khawatir sekali generasi ke depan tetap akan mempertahankan budaya ini. Karena saya menemukan kasus seperti ini di tempat saya bekerja. Seringkali guru-guru tidak berani menyampaikan kekurangan atau permasalahan seorang murid hanya karena orang tuanya adalah seorang ini atau itu. Lalu akhirnya, berbekal dengan sifat nggak enakan itu maka mereka memanfaatkan embel-embel yang mereka punya untuk mengatur segalanya sesuai kemauan mereka. Penjajahan bukan?!
Lalu kemudian ketika ada yang berani bersuara, justru komunitas menekannya dengan mengatakan --bagaimana mungkin kita bisa bersikap seperti itu kepada orang yang punya kedudukan seperti ini dan itu?--. Jadi sangat wajar kalau negara kita sangat sulit lepas dari penjajahan kan?! Kalau membedakan antara kritik dengan nyinyir pun kita nggak bisa, bagaimana mungkin mengharap perbaikan?!
Kalau sifat-sifat ini tetap dipelihara, maka pasti akan diikuti oleh keturunan-keturunannya. Saya sudah menemukan, orang tua yang punya embel-embel itu pasti anaknya juga besar kepala. Karena apapun yang dia lakukan akan dibela oleh orang tuanya yang ditakuti oleh pengelola sekolah. Kalau sudah mendengar kasus-kasus seperti ini, respon saya biasanya cuma senyum-senyum saja sambil bergumam, 'ya memang sudah begini budayanya, kenapa masih mengeluh juga?'
Kembali ke kita. Yang membuat saya seringkali kesal --terutama-- ketika berinteraksi dengan orang-orang dalam suatu urusan adalah kebiasaan menahan diri hanya karena nggak enak. Takut menyakiti perasaan karena kritikan yang seharusnya kita sampaikan, atau lebih parah lagi nggak enak karena orang itu punya kedudukan sehingga seharusnya kita yang tahu diri. Kalau sudah begini, saya cuma bisa melongo saja.
Saya benar-benar nggak habis pikir. Ketika kita sekarang sudah nggak mau lagi dibilang ketinggalan zaman, kenapa sifat-sifat orang jajahan ini masih saja dipelihara? Memangnya orang kalau sudah jadi pejabat terus nggak bisa salah? Memangnya kalau ustaz nggak bisa keliru?! Kalau menyampaikan kritik masih dianggap sebagai hujatan, saya khawatir sekali generasi ke depan tetap akan mempertahankan budaya ini. Karena saya menemukan kasus seperti ini di tempat saya bekerja. Seringkali guru-guru tidak berani menyampaikan kekurangan atau permasalahan seorang murid hanya karena orang tuanya adalah seorang ini atau itu. Lalu akhirnya, berbekal dengan sifat nggak enakan itu maka mereka memanfaatkan embel-embel yang mereka punya untuk mengatur segalanya sesuai kemauan mereka. Penjajahan bukan?!
Lalu kemudian ketika ada yang berani bersuara, justru komunitas menekannya dengan mengatakan --bagaimana mungkin kita bisa bersikap seperti itu kepada orang yang punya kedudukan seperti ini dan itu?--. Jadi sangat wajar kalau negara kita sangat sulit lepas dari penjajahan kan?! Kalau membedakan antara kritik dengan nyinyir pun kita nggak bisa, bagaimana mungkin mengharap perbaikan?!
Kalau sifat-sifat ini tetap dipelihara, maka pasti akan diikuti oleh keturunan-keturunannya. Saya sudah menemukan, orang tua yang punya embel-embel itu pasti anaknya juga besar kepala. Karena apapun yang dia lakukan akan dibela oleh orang tuanya yang ditakuti oleh pengelola sekolah. Kalau sudah mendengar kasus-kasus seperti ini, respon saya biasanya cuma senyum-senyum saja sambil bergumam, 'ya memang sudah begini budayanya, kenapa masih mengeluh juga?'
0 Comments