Entah kapan terakhir kali saya membaca karya sastra. Buku fiksi terakhir yang saya baca, Dilan menurut saya lebih mirip disebut sebagai diary. Bahkan ketika membacanya saya merasa sangat bersalah kepada Pidi Baiq karena langsung terbayang pada Serial Kenangan milik NH Dini yang saya baca sekian tahun yang lalu. Saya sempat curiga, apakah karya sastra sekarang memang gaya bahasanya sedemikian santuy sehingga tidak ada lagi kekayaan makna ketika membacanya.
Saya memutuskan untuk membaca karya sastrawan yang sudah saya kenal saja ketika memutuskan untuk membaca karya sastra lagi. Dan pilihan jatuh pada Sapardi Djoko Damono (SDD). Karena tidak ingin menghabiskan waktu dengan kisah yang panjang, saya memutuskan untuk membaca kumpulan cerpen saja. Dan Alhamdulillah, saya tidak salah pilih. Selain stoknya banyak di ipusnas, cerita-cerita di dalam buku ini cukup ringan dan tentu saja menghibur dengan caranya yang unik.
Judul : Malam Wabah & Pada Suatu Hari Nanti
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan Pertama, Juni 2013
Penerbit : Bentang Pustaka
Ebook ; 88 & 94 halaman
Buku ini adalah 2 kumpulan cerita pendek dengan tema yang berbeda. Dari beberapa review yang saya baca di Goodreads, bagian depan buku harusnya adalah Malam Wabah tapi di ipusnas bagian pertama yang muncul adalah Pada Suatu Hari Nanti. Jadi saya akan bahas dulu bagian yang ini.
Mengambil ide dari dongeng-dongeng dan legenda yang sudah terkenal di masyarakat kita, Sapardi Djoko Damono dengan seenaknya mengubah alur cerita dari kisah-kisah tersebut. Saya sempat terbengong sebentar sebelum akhirnya tersenyum geli ketika membaca bagian akhir dari Dongeng Rama-Sita. Saya pun dibuat kagum dengan kemampuan SDD membelokkan cerita menjadi konyol tapi tetap menarik dan tidak kehilangan nilai.
Terdiri dari 9 cerita pendek, sejujurnya saya tidak terlalu familiar dengan sebagian besarnya. Tapi itu tidak menghalangi kenikmatan membaca kisahnya. Meskipun ada yang kurang masuk akal, seperti Malin Kundang yang tidak membatu padahal semua awak kapalnya membatu, atau Ditunggu Dogot yang membuat saya gemas karena sepanjang cerita rasanya hanya mbulet tidak karuan, but in a fun way.
Cerita favorit saya tentu saja Pada Suatu Hari Nanti. Mungkin ini adalah cerita pendek terpendek yang pernah saya baca, yang langsung menusuk hati dengan kedalaman luka. Terutama karena saya punya pengalaman pribadi yang mirip dengan Nawang, tokoh utamanya, sehingga saya bisa merasakan kerinduan yang dialaminya.
Sekarang izinkan saya memperkenalkan Rumah-rumah di Malam Wabah. Pada rumah Nomor 11 awalnya saya cukup simpati sampai kemudian dengan seenaknya dia bilang saya tidak mampu membeli rumah?! Sungguh, saya tidak akan mau bertemu lagi dengannya setelah ini. Wajar saja kalau rumah Nomor 13 tidak menyukainya. Meski begitu bukan berarti saya akan membeli rumah Nomor 13. Tapi mungkin kamu akan mengerti kenapa Rumah-rumah itu punya hubungan yang agak rumit kalau membaca sendiri kisahnya.
Selain Rumah-rumah, ada 12 cerita lainnya di malam wabah. Secara keseluruhan, saya lebih menyukai bagian ini daripada Pada Suatu Hari Nanti. Selain karena idenya yang tentu saja original, saya merasa kisah-kisahnya lebih relatable dengan kehidupan sehari-hari. Walaupun kita tidak akan pernah bisa bertemu dengan sepatu atau pohon jeruk purut yang bisa bicara, tapi pesan tersirat yang ada dalam kisahnya cukup menyentuh perasaan saya yang memang agak sensitif ini.
Ya, kisah-kisah di Malam Wabah menurut saya agak kelam dan suram. Misalnya Ketika Gerimis Jatuh dan Bingkisan Lebaran yang berhasil membangkitkan memori masa kecil yang kurang menyenangkan di kepala saya. Tapi di kisah lainnya saya bisa merasakan kehampaan masa tua.
Kalau disuruh memberi rating, saya akan berikan 🌟🌟🌟🌟 bintang untuk buku ini. Bukan hanya karena kisah-kisahnya yang menyentuh, tapi juga menggelitik rasa kemanusiaan saya. Sepertinya saya akan rekomendasikan buku ini untuk guru bahasa Indonesia di sekolah.
0 Comments