Seorang hamba tidak disebut bertakwa sebelum menghitung dirinya sendiri sebagaimana dia menghitung teman sejawatnya; dari mana pakaiannya dan dari mana makanannya. (Mahran bin Maimun rahimahullah)
Hari ini aku bertanya
tentang diriku. Berkaca dan memagut diri dalam cermin hati. Mencoba
mengoreksi kembali, apa saja yang telah, akan dan belum aku lakukan.
Memuhasabah diri, menghitung-hitung, meski tak mungkin mampu aku seperti
Sofyan Ats Tsauri yang sanggup menemukan 21ribu dosanya. Sungguh,
terlalu banyaklah dosa yang telah kulakukan. Tapi setidaknya, hari ini
aku ingin ‘kembali’, mengoreksi diri agar apa yang akan kulakukan nanti
lebih berarti. Mencoba menjadi cerdas dengan mengamalkan apa yang
disabdakan Rasulullah saw bahwa orang yang cerdas adalah orang yang
menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati.
###
Wahai
diriku, apa kabarmu hari ini? Sudah sangat lama aku tak menyapamu.
Bahkan mungkin sepanjang hampir 23tahun aku bernafas, tak pernah
sekalipun aku memerhatikanmu. Maafkan aku, karena terlalu sibuk dengan
hal-hal diluar dan tak pernah peduli padamu. Hari ini, aku ingin
bertanya padamu, diriku. Tentang banyak hal. Karena hari ini aku baru
menyadari bahwa usiaku telah begitu banyak berkurang sementara ada
terlalu banyak hal yang mestinya aku perhatikan dengan serius dan kini
mulai mengusik perasaan dan pikiranku. Akhir-akhir ini aku mulai curiga
dan khawatir pada hal-hal yang tidak patut aku lakukan, saat ini dan
seterusnya.
Tentang hubunganmu dengan Allah.
Wahai
diriku... Masih ingatkah? Dulu kau seringkali menulis surat untuk
Tuhan. Kau tak punya teman selain Dia. Apapun yang kau rasakan selalu
kau sampaikan padaNya dengan surat-surat yang kini telah entah dimana.
Mungkin teksnya telah tiada, tapi aku yakin pesan yang disampaikan oleh
surat-surat yang kau tulis itu telah sampai di ‘Arsy-Nya. Bukankah kau
telah menjadi saksi, bahwa doa-doa yang selama ini tersampaikan lewat
teks-teks itu kini perlahan tapi pasti telah menjadi nyata. Dengan
porsinya masing-masing, doa-doamu ternyata terjawab seluruhnya. Tuhan
tak pernah ingkar janji, diriku.
Saat ini kau seperti
melupakan-Nya, diriku. Apakah karena kau telah mampu berteman dengan
manusia? Dulu kau tak punya tempat lain untuk mengadu selain pada-Nya,
hanya Dia. Karena tak ada satu pun manusia yang mengerti pada bahasamu.
Hanya Dia yang mengerti akan dirimu. Maka kau memohon agar ada teman
yang mampu memahamimu. Kau tulis itu dalam surat cintamu untuk-Nya. Aku
masih ingat masa-masa itu, diriku. Kau menulis dengan air mata yang
mengalir di pipi. Kau sampaikan pada-Nya betapa sepi hidup kau rasakan
tanpa ada satupun manusia yang mengerti keadaanmu. Lalu perlahan, Tuhan
pertemukan dirimu dengan orang-orang yang mau menerimamu. Mulai dari
yang buruk perangainya namun baik hatinya, hingga yang saat ini mampu
membawa pengaruh baik dalam hidupmu.
Juga masih sangat
jelas dalam ingatanku, ketika kau duduk sendiri di teras rumahmu. Sore
itu, kau tulis betapa kau marah pada Tuhan karena beratnya dirimu untuk
melangkah pada kebaikan. Kau gugat Tuhan lewat suratmu. Kau pertanyakan
apa maksud Tuhan selalu memenuhi ingatanmu tapi tak menggerakkan hatimu
pada apa yang Ia ridha terhadapnya. Kau sampaikan ketidakberdayaanmu
mengendalikan buruknya perangaimu. Kau tuntut Tuhan untuk meninjau
kembali tujuan penciptaanmu. Kau ingin jadi manusia yang sebenarnya,
seperti yang diinginkan Tuhan. Dan setahap demi setahap, Tuhan
menganugerahimu ilmu untuk menerima tuntunan-Nya. Sehingga kau menjadi
orang yang menjalankan agama bukan lewat doktrin, tapi pengalaman ruhani
yang menggerakkan jiwa. Pengalaman ruhanimu lebih berkesan, tak seperti
manusia pada umumnya. Kau istimewa, diriku. Tuhan menghendaki perbaikan
dirimu dengan cara yang sangat indah. Dan itu membuktikan Ia membaca
tuntutanmu, dan mengabulkannya.
Kini, mengapa tak lagi kau
tulis harapan-harapanmu itu? Apakah beratnya ujian hidup telah membuat
kau berputus asa dari rahmatNya? Aduhai diriku, dulu kau adalah jiwa
yang kering dan tenggelam dalam kegelapan. Tapi kau tak pernah putus asa
untuk mengharap cahaya dari Tuhan yang Maha Cahaya. Sekarang kau hidup
dengan cahaya, kau telah menemukan bintang hidupmu yang akan menuntun
perjalananmu untuk menuju kebahagiaan sejati. Lalu, Tuhan mendatangkan
ujian dan cobaan untukmu agar kau layak duduk disisi-Nya kelak. Apakah
kini kau akan menyia-nyiakan kesempatan ini, diriku? Menulislah lagi,
diriku. Sampaikan betapa kau sangat menghajatkan-Nya. Karena kau telah
membuktikan, meski doa-doa itu tak terlantun dengan kata-kata ternyata
Tuhan tetap mendengar bisikan hati yang kemudian kau tulis dalam
lembar-lembar suratmu dulu. Bukankah kau ini istimewa, diriku? Tuhan tak
memakai cara yang Ia pakai pada umumnya manusia untuk menjawab doamu.
Selama ini Tuhan tak mendengar doamu, diriku. Tapi Ia membaca. Tuhan
membaca surat-surat yang kau tulis untuk-Nya dengan tinta air mata, dan
dengan cinta Ia atur jalan agar harapan-harapan itu menjadi nyata,
sesuai dengan apa yang kau butuhkan untuk hidupmu. Tuhan tahu, diriku.
Kau tak perlu bicara karena kau tak pandai menyusun kata lewat lisanmu,
maka tulislah lagi. Aku rasa Tuhan rindu pada surat-suratmu.
Tentang hubunganmu dengan Al-Qur’an
Siapa
teman yang mampu menandingi kepekaanmu dalam mengoreksi bacaan
Al-Qur’an, diriku? Hampir tak ada, bukan? Kau unggul dalam bidang ini.
Bersyukurlah, diriku. Tuhan menganugerahimu satu kelebihan yang membuat
manusia iri padamu. Siapa teman yang mampu menandingi kecepatanmu dalam
menghafal teks Al-Qur’an, diriku? Adakah temanmu yang mampu menghafal
lancar Al-Qiyamah dalam waktu 20 menit? Atau menghafal dua surat
At-Takwir dan Al-Infithar dalam 15 menit? Sepertinya hanya kau, diriku.
Lalu mengapa tak kau syukuri itu?
Di luar sana, ada banyak
orang yang ingin seperti kau, diriku. Kau sangat sensitif terhadap
bacaan Al-Qur’an. Jika kau sendiri yang salah membaca, kau akan langsung
menghentikan bacaanmu tanpa sadar dan kebingungan mencari letak
kesalahan yang membuatmu terhenti. Kau tak nyaman jika membaca Al-Qur’an
dengan terburu, begitupun jika mendengar orang lain yang membacanya
hanya untuk mengejar target mutaba’ah. Telingamu pasti akan gerah jika
mendengar orang lain yang memuraja’ah hafalan dengan tanpa memperhatikan
hukum tajwid. Ya, aku tahu itu, diriku.
Akan tetapi,
diriku. Mengapa tak kau tingkatkan intensitas hubunganmu dengan
Al-Qur’an? Mengapa tak kau jaga hafalanmu? Bukankah kau mampu jika kau
mau? Terlalu mudah, diriku. Jika kau mau sedikit serius dan
menjadikannya cita-cita hidupmu, menghafal Al-Qur’an adalah satu
aktifitas yang mudah bagimu. Iya kan?! Cobalah koreksi, diriku. Berapa
halaman yang mampu kau baca dalam sehari, dan berapa halaman yang
terealisasi kau baca? Periksalah kembali, kau pernah mampu hafalkan satu
juz dalam seminggu. Lalu mengapa sekarang kau tak pernah sekalipun
mengulang hafalanmu itu?
Aku juga masih ingat, diriku.
Dulu kau rajin mengajarkan Al-Qur’an pada siapapun orang yang
memintanya. Kau adalah guru paling disiplin dan tegas jika mengajar.
Dalam sepekan kau bisa habiskan empat harinya hanya untuk mengajar. Kau
rasakan betapa besar manfaat ilmu yang kau miliki itu. Tapi sekarang,
kau nikmati sendiri ilmu yang kau miliki itu, diriku. Tak takutkah kau
pada sabda Rasulullah bahwa kelak seorang hamba tidak akan beranjak dari
tempatnya pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja
yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.
Aku tahu,
diriku. Kau kini sedang berusaha mengamalkan apa yang kau baca dari tiap
lembar kitab yang kau baca setiap harinya itu. Tapi tak inginkah kau
mengajarkannya kembali seperti dulu? Tak inginkah kau menabungkan
manfaat dari ilmumu untuk kau petik hasilnya nanti di hari akhir?
Kembalilah mengajar, diriku. Ada banyak orang yang membutuhkan ilmumu.
Tentang hubunganmu dengan sesama manusia
Kau
yang paling tahu tentang dirimu. Diriku, memang sulit menjalin hubungan
dengan manusia. Ada kalanya kau harus menyesuaikan diri agar bisa
diterima, dan seringkali kau harus memahami perangai orang lain yang tak
sesuai dengan kehendakmu. Aku tahu itu sulit untukmu, diriku. Teramat
sulit karena kepribadian yang labil membuatmu sulit dimengerti bahkan
oleh dirimu sendiri. Bahkan kadang kau tak tahu siapa dirimu, bagaimana
mungkin orang lain akan memahamimu. Ini adalah ujian keimanan, diriku.
Ini ujian keimanan.
Masih hafalkah, diriku? Hadits Arba’in
ke 15, menerangkan bahwa standar hidup orang beriman adalah yang sukses
bersosialisasi dengan orang lain. Aku tahu kau bukan orang yang pandai
bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarmu. Tak pandai menyusun kata,
tak cakap berbasabasi. Maka cukupkanlah dengan diammu jika memang tak
mampu berbicara yang baik, diriku. Seperti apa yang disabdakan
Rasulullah dalam hadits itu.
Berhentilah berprasangka, diriku.
Karena sebagian prasangka adalah dosa. Terimalah keadaan manusia yang
tak menyenangkan, sebagaimana kau diterima oleh mereka dengan segala
ke’sulitan’mu. Banyaklah tersenyum, diriku. Karena tak ada yang bisa
disedekahkan selain itu, bukan? Insya Allah akan ada balasan dari
sedekah yang kau berikan itu.
Wahai diriku, cobalah ingat
kembali adakah orang yang kau dzalimi selama ini? Sudahkah kau meminta
maaf? Segeralah datang padanya, diriku. Mohonkan keikhlasan atas
kesalahan yang telah dilakukan. Sudahkah kau utamakan alokasi uangmu
untuk membayar hutang-hutangmu? Sesempit apapun keadaanmu, diriku.
Membayar hutang harus jadi prioritas pertama dalam membelanjakan uang
yang kau dapatkan.
Perbaikilah hubunganmu dengan sesama
manusia, diriku. Tinggalkanlah sifat burukmu, karena hanya akan
merugikanmu suatu hari nanti. Berkasih sayanglah dengan mereka, agar
Tuhan dan para malaikat-Nya yang ada di langit sana, pun mengasihi
dirimu.
Wahai diriku, bagaimana kondisi hatimu hari ini? Aku menanyakan ini, karena kita telah memahami bahwa hatilah yang paling menentukan kebaikan dan keburukan seseorang. Jika hati telah baik, maka baiklah keseluruhan manusia itu, akan tetapi jika hatinya sakit maka rusaklah seluruh tubuhnya. Jangan sampai hatimu terserang penyakit diriku. Dan kalaupun ada luka-luka kecil yang menyayat, segeralah untuk mengobatinya.
Mari kita lihat bagaimana kondisi hatimu, diriku. Adakah nifaq yang terselip di sana? Berhati-hatilah pada penyakit ini, diriku. Karena ini adalah penyakit yang paling parah dan jika tak segera diobati akan membawamu pada kekufuran. Naudzubillah. Jika kau mulai merasakan keraguan, keguncangan keyakinan maka segeralah berzikir, membaca Al-Qur’an, dan mudzakarah dengan orang-orang beriman agar hati kembali shiddiq. Diriku, periksalah dengan teliti.
Adakah kau menyembunyikan riya’, diriku? Celakalah jika kau masih memberi tempat untuknya, karena jika kau biarkan riya’ itu bersemayam maka ia hanya akan mengantarkanmu pada kemusyrikan. Diriku, bersihkanlah segera riya’ itu dari hatimu. Usir dia sebelum menjadi parasit yang merusak hatimu. Jangan kau biarkan dia merusak amal-amalmu.
Lalu, apakah telah tertanam benih-benih kedengkian dalam hatimu, diriku? Segeralah cabut sebelum rumput-rumput dengki itu mengotori hatimu. Kedengkian itu hanya akan membuat kau jauh dari saudaramu, diriku. Ingatlah bagaimana Tuhan mengingatkan kita ‘... Mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah kecuali sesudah datangnya pengetahuan kepad mereka karena kedengkian antara mereka’ (Asy-Syura : 14)
Diriku, tahukah kau betapa tercelanya kedengkian ini hingga Rasulullah mengibaratkannya sebagai pencukur agama dan bagai api yang memakan kayu bakar. Jagalah kedengkianmu hanya untuk dua orang, diriku. Yaitu orang yang berharta yang hartanya ia gunakan untuk berjuang di jalan Allah, dan untuk orang berilmu yang ilmunya ia amalkan dan ajarkan pada manusia. Selain pada dua orang itu, janganlah kau iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain (An-Nisa : 32)
Masih ingatkah kau tentang kisah jatuhnya pasukan Islam dalam perang Uhud, diriku? Ya, kekalahan mereka dikarenakan mereka ‘ujub karena banyaknya jumlah. Selamatkanlah dirimu dari sifat ‘ujub, diriku. Karena serangannya mampu menghancurkanmu. Ia akan menghancurkanmu, dan lalu memenuhi hatimu dengan anak kandungnya; sombong. Kau tentu tahu, diriku. Dosa pertama yang membuat kerusakan di dunia ini adalah dosa kesombongan. Berlindunglah kepada Allah dari sifat ini, diriku.
Kemudian, apakah masih memelihara sifat kikirmu, diriku? Ah, kita pun tahu bahwa tabiat manusia memang kikir adanya (An-Nisa 128). Tapi bukan berarti kita harus membiarkannya, diriku. Karena jika ia dibiarkan tinggal di hatimu, ia hanya akan mencegahmu dari berinfaq dan berkorban. Kekikiran akan membuat kau dalam kegelapan di hari akhir kelak. Kau pasti tidak mau berada dalam gelap di hari kiamat, kan?
Satu hal lagi. Bagaimana kau mengendalikan amarahmu, diriku? Kita tahu, tak mungkin kita menghilangkan amarah dalam diri karena bahkan Tuhan pun bisa marah. Akan tetapi, kadang kemarahan yang salah tempat hanya akan membawa keburukan dan justru merusak persahabatan. Diriku, tunjukkanlah kekuatanmu sebagai orang beriman dengan kesanggupanmu mengandalikan amarahmu. Pergunakanlah ia pada saat yang tepat agar terjaga kemuliaanmu.
Marilah berdoa, diriku. Kita memohon kepada Tuhan agar hati kita dijernihkan kembali seperti ketika kita baru dilahirkan dulu. ‘Ya Allah, zat yang membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu’
Tentang sikapmu dengan dunia dan segala kemewahannya
Ini pertanyaan terakhir, diriku. Tentang kerisauanmu akan dunia. Aku senang, diriku. Ketika melihatmu berpuas diri pada apa yang kau miliki dan tak silau pada apa yang tak dapat kau raih. Namun, jika seandainya kau memiliki kesempatan untuk mendapatkan dunia, akankah kau tetap menjadi sederhana seperti saat ini. Diriku, kuharap dalam keadaan apapun kau akan tetap mengingat pesan Rasulullah kepada kita ‘sesungguhnya kesederhanaan bagian dari iman. Kesederhanaan bagian dari iman.
Diriku, suatu saat nanti mungkin Tuhan berkehendak mengujimu dengan nikmat dunia. Maka ingatlah selalu bahwa cinta dunia adalah pangkal semua kesalahan. Jadikanlah dunia ini hina dalam pandanganmu agar kau mendapatkan akhirat yang indahnya tak pernah sanggup dibayangkan manusia.
Wahai diriku, waspadalah pada sihir dunia. Janganlah ia sampai menghinggapi hatimu. Cukup letakkan di tanganmu saja, agar hidupmu selamat di dunia dan akhirat. Demikianlah diriku, aku bertanya untuk mengetahui kabarmu selama ini. Semoga Tuhan selalu menyelamatkan kita, diriku.
0 Comments