Hanya Nasihat, Ukhti


Aku mengenalmu, ukhti. Dengan segala karakter dan sifat unikmu. Manjamu, lugasmu, sampai lengusmu. Bahkan ketika kau melakukan hal-hal yang tak kusukai, aku memaklumi karena tahu memang begitulah dirimu. Lebih dari 4 tahun kita bersama tentu saja membuatku banyak belajar tentangmu.

Aku juga mengharap kau begitu, ukhti. Aku yang juga manja, lugas, apa adanya, dan sedikit ‘liar’. Kadang lepas kontrol dan semaunya. Aku ingin kau juga memahamiku. Ke’sulit’anku, kenakalanku, ke’polos’anku, ke’peka’anku dan semua hal tentang diriku. Bukankah kau juga telah mengenalku sekian tahun lamanya?

Tapi mungkin kali ini aku harus kecewa. Sungguh, aku tahu bahwa kau memang begitu. Tapi tidakkah kau juga tahu bahwa aku memang begini adanya? Terbuka, dan tidak suka berbasabasi. Di satu sifat ini kita sama. Mestinya bukankah kita bisa saling memahami?

Mungkin aku yang salah, tak mengerti bagaimana suasana hatimu saat ini. Mungkin aku yang tak perhatian, terlalu menikmati kehidupanku sendiri dan tak pernah menyapamu meski hanya sebentar. Mungkin aku bukan saudara yang baik, yang tak bisa membantu setiap kesulitan yang kau alami. Karena aku sendiri juga tak punya apa-apa yang bisa kuberikan untukmu. Terlebih jika itu berupa materi.–Lagipula kesulitan kita selama ini juga tak jauh beda, kan?— 

Aku minta maaf, dengan setulus hati aku mengakui bahwa aku memang bersalah telah menyakiti hatimu. Tapi sungguh aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin kita kembali akrab dan punya semangat yang sama lagi, bisa kembali bercanda dan menertawai keadaan kita yang masih saja berjalan di tempat sementara teman-teman kita telah melangkah jauh meninggalkan kita. Aku ingin kita kembali bicara dan saling mendukung karena ternyata jalan menuju puncak itu begitu curam dan sulit didaki. Tahukah kau, bahwa sebenarnya yang terjadi padaku sekarang adalah, aku hampir putus asa? Aku ingin kita bisa mengatasi permasalahan kita berdua dengan senyum bersama. Yang kuinginkan dari teguranku sebenarnya adalah kau menjawab dengan pertanyaan serupa untukku. Lalu kita saling berbagi beban, mencari solusi bersama.

Dan disitu letak salahnya, ternyata. Bukan kita yang berjalan di tempat, tapi aku. Aku tahu kau sekarang sudah punya kehidupan baru, sementara aku masih berkutat dengan laptop dan buku-buku. Kau telah punya warnawarni baru untuk mengisi harimu, sementara aku masih saja nyaman dengan warnaku yang selalu ‘abuabu’.

Mungkin aku memang belum mengenalmu, dan yang sudah pasti –ternyata kau juga belum tahu tentangku-.

Post a Comment

0 Comments