Orangtuaku luar biasa.Dengan semua makna yang bisa dikandungi dua kata itu. Saya bangga, karena telah dididik dan dibesarkan sebagai anak mereka.
Pagi ini, sekali lagi saya menemukan betapa orang tua saya memiliki pandangan hidup yang jauh lebih maju, jauh lebih visioner dari orang lain. Mereka memang kampungan, ndeso, tapi cara berpikir mereka sama sekali tidak kampungan. Mereka juga bukan tokoh agama, bukan guru ngaji. Bapak saya hanya bendahara masjid di depan rumah. Mereka bahkan tidak tahu alif ba' tsa'. Tapi mereka punya pandangan hidup yang sangat Islami. Dan itu yang coba mereka tanamkan pada anak-anak mereka -kami- sejak kami berdua masih kecil.
Sekali lagi, kawan. Ini tentang konsep tentang menikah dan berumah tangga. Pagi ini, saya membaca buku dari Abdul Halim Abu Syuqqah dan saya temui ternyata apa yang jadi saran beliau dalam buku ini adalah apa yang juga menjadi pendapat orang tua saya. Seketika saat membaca lembar-lembar itu, saya berpikir "orang tua saya sehebat Syaikh ini" he he . . . :D
Berikut kutipan tulisan yang saya baca:
Apabila tenggang waktu yang panjang antara peminangan dan akad nikah -yang kadang-kadang menimbulkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran-- itu sudah menjadi gejala umum, khususnya pada sebagian masyarakat modern yang sulit mencari kemapanan, dan sulit --bahkan kadang-kadang mustahil-- bagi kebanyakan anak muda untuk membangun rumah sendiri setelah bertahun-tahun bekerja, dan pada waktu itu juga kondisi keluarga suami atau istri tidak memungkinkan keduanya untuk hidup bersama-sama. Apabila terhadap keadaannya seperti ini, yang berhubungan dengan kehidupan vital tiap pemuda dan pemudi. Dan, kami berharap mendapatkan tanggapan dari para ahli ilmu.
Kesimpulan dari usulan ini adalah apabila belum dapat membuat rumah sendiri dan tidak hidup bersama-sama dalam satu rumah keluarga --dalam waktu dekat sesudah peminangan-- maka pernikahan dapat dilangsungkan. Masing-masing dari suami-istri ini tinggal di rumah keluarganya sendiri-sendiri, dan keduanya dapat menggunakan liburan akhir pekan bersama-sama di tempat yang cocok dengan kondisinya, atau seperti di rumah salah seorang keluarga atau kerabat mereka, atau hotel yang sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.
Dan dapat dikemukakan pula beberapa patokan yang berhubungan dengan usulan ini, yaitu:1. Hendaklah si suami melakukan pekerjaan apapun, meskipun sedikit. . . Dan alangkah baik kalau si istri juga bekerja seperti itu2. Kedua suami-istri hendaknya menunda untuk punya anak, kecuali apabila kondisi keluarga keduanya memperkenankan untuk punya anak.
Hal ini persis seperti apa yang disampaikan orang tua saya lebih dari 8 tahun yang lalu, pada saya. Mereka berkata, "nduk, kalau kamu sudah mulai tertarik pada lawan jenis itu artinya kamu sudah butuh menikah"
Saya yang waktu itu masih berumur 14 tahun dan masih sangat unyu, kaget dan jelas tidak mengerti dengan cara berpikir mereka. Tapi kini, setelah (cukup) dewasa, saya menyadari bahwa orang tua saya memiliki pandangan tentang konsep penjagaan diri yang jauh melampaui pemahaman keIslaman mereka.
Dulu, menanggapi pernyataan mereka yang seperti itu saya bertanya heran. "bagaimana mungkin begitu? anak sekarang biasanya mulai menyukai lawan jenis seumuran saya, kalau kemudian kami yang masih dibawah lima belas tahun ini menikah mau hidup dengan apa?" Dengan entengnya Ibu menjawab, "memang selama ini yang menghidupi kamu siapa? ya orang tuamu ini." "lho, kalau sudah menikah kan harus punya rumah sendiri, mak?" tanyaku. "itu kan kalau aturan orang lain, kalau menurut kami lebih baik kamu menikah daripada pacaran seperti teman-temanmu itu. setelah menikah kamu tetap sekolah dan tinggal di rumah, suamimu juga tetap tinggal dirumahnya sampai dia mampu membuatkan rumah untukmu. nah, kalian bisa pacaran sesuka kalian tanpa berdosa karena bermaksiat. dan kami, orang tuamu ini bisa lega karena ada yang menjagamu ketika tidak sedang bersama kami." "trus, sekolahnya gimana?" saya bertanya lagi. "sekolah ya sekolah, nikah ya nikah. itu dua hal yang berbeda, nduk. yang satu tidak boleh mempengaruhi yang lain dalam pelaksanaannya. kamu harus tetap sekolah sampai kamu bosan sekolah. bagi kami sebelum suamimu mampu menafkahimu, kamu tetap tanggung jawab kami."
Ah, seandainya semua orangtua seperti orangtua saya mungkin bisa menekan buruknya moral remaja kita.
0 Comments