Simple is Better

Tinggal menunggu hari, dan setelah itu insya Allah status saya akan berubah dari 'single' menjadi 'menikah'. Bohong kalau saya bilang bisa menjalani proses ini dengan santai. Kenyataannya, dari sejak rencana pernikahan ini terucap sampai hari ini saya tidak pernah bisa tidur nyenyak. Padahal tidak ada masalah apapun yang menghambat proses penikahan saya -eh, kami- :D

Saya sangat beruntung memiliki orang tua yang pengertian dan mudah diajak dialog bahkan suka berdiskusi tentang apa saja. Termasuk mengenai rencana pernikahan ini, saya dengan sangat mudah mengomunikasikan keinginan-keinginan saya tentang pelaksanaannya. Tidak ada kejadian berbeda pendapat, harus memakai upacara adat, atau apapun yang menurut saya tidak penting. Ketika saya menyampaikan ingin melaksanakan pernikahan dengan sederhana, mereka langsung menyetujuinya. Mereka hanya bertanya mengenai tingkat kesederhanaan yang saya inginkan.

Lega rasanya ketika saya sampaikan keinginan dan harapan-harapan saya tentang prosesi akad hingga walimah, orang tua saya benar-benar bisa menerimanya, tanpa kompromi sedikitpun. Ibu hanya bertanya singkat, "Apa nggak takut nyesel nanti kalau acara nikahnya cuma begitu saja?" Dan dengan mantap saya jawab, "Insya Allah tidak. Dulu kan Mamas acara nikahnya juga sederhana."

***
Keluarga saya memang sederhana. Tidak suka yang neko-neko. Meski Bapak dan Mamak sesungguhnya sangat mampu untuk membuatkan pesta meriah untuk saya, tapi mereka tidak menawarkan itu kepada saya. Ketika kakak laki-laki saya menikah, acara ngunduh mantu di rumah hanya sekadar pengajian dan mengundang makan tetangga. Untungnya, dari keluarga istrinya juga tidak mengadakan pesta yang terlalu besar.

Begitulah, meski orang tua tidak pernah belajar atau membaca tentang konsep pernikahan yang sesuai syari'at Islam, tapi mereka tahu bahwa Islam tidak menghendaki perilaku berlebih-lebihan. Ketika saya sampaikan bahwa saya tidak ingin ada resepsi, Ibu -sambil tersenyum- mengatakan "baguslah, nggak perlu repot sewa pelaminan dan dekorasi. Tapi harus tetap ngundang tetangga lho ya?" Ketika saya sampaikan tidak ingin bersanding dengan calon pengantin pria sebelum akad selesai terucap, Ibu juga dengan semangat menjawab, "memang begitu dulu waktu Ibu menikah. Bapak sama Mbahmu dilihat orang-orang akadnya di ruang tamu, Ibu ngintip aja di kamar." Dan ketika saya berpesan untuk tidak terlalu berlebih-lebihan dalam membelanjakan uang, Ibu justru balik menasihatkan, "Iya Nduk, memang sebaiknya nggak boleh mubazir. Nanti kalau kamu sudah menikah juga nggak boleh boros. Harus pinter-pinter mengelola uang. Jangan banyak menuntut sama suami, bla bla bla... bla bla bla..." ^_^ --(love you Mom)--

Bapak lain lagi. Saking simpelnya, bahkan di pertemuan kedua beliau sudah bertanya apakah mau langsung melangsungkan akad hari itu juga? Untungnya beliau hanya menanyakan kepada saya, tidak langsung kepada si ikhwan. Beliau juga tidak keberatan ketika saya bilang tidak bisa segera pulang karena masih harus membagi raport UTS satu hari sebelum menikah. Benar-benar tidak ada intervensi apapun. Beliau hanya berpesan untuk "hati-hati dan jaga kesehatan, belajar untuk mulai berfikir dewasa, jangan jadi anak manja lagi."

Maka jadilah tidak ada persiapan yang menyibukkan di acara pernikahan saya. Semuanya akan kami jalankan dengan sederhana, sesederhana keadaan keluarga kami. Dan sekali lagi saya bersyukur, untuk orang tua yang sangat pengertian.

Post a Comment

0 Comments