Saya paling benci terlambat. Melihat orang terlambat, apalagi diri
sendiri yang terlambat membuat saya merasa benci dan kesal. Dulu, saya
bisa pasang muka manyun kepada sahabat saya jika harus menunggu dia yang
sedang bersiap-siap sementara kami sudah terlambat. Saya akan langsung
menunjukkan wajah tidak suka jika melihat seseorang yang datang
terlambat pada suatu acara. Tapi itu dulu. Sekarang, saya tidak beda
jauh dengan mereka. Meskipun saya tetap benci dengan keterlambatan, tapi
sekarang saya lebih benci jika harus menunggu sekian lama tanpa
melakukan apa-apa.
Saya yakin kebanyakan kita juga tidak
menyukai keterlambatan meski dirinya adalah penggemarnya -mungkin tanpa
sadar-. Namun saya punya cerita sendiri mengapa saya sangat tidak suka
dengan keterlambatan. Ada banyak cerita keterlambatan yang saya alami
selama hidup. Hal itu membuat saya tidak ingin terlambat dalam segala
hal. Walaupun pada akhirnya saya harus mengalah pada realitas bahwa saya
termasuk orang-orang yang terlambat.
Ketika masuk TK,
saya mungkin beruntung karena punya keistimewaan khusus sehingga hanya
perlu 3 bulan belajar dan bisa langsung lulus. Masuk SD sebagai anak
yang termuda usianya, membuat saya agak sulit beradaptasi dengan
teman-teman. Ditambah dengan bawaan psikoneurosis yang saya derita,
makin sulitlah saya menjalani masa-masa SD. Hingga pada akhirnya saya
ditawari untuk akselerasi, makin takut saya menghadapinya.
Saya
sempat sangat menyesali keputusan saya yang menolak tawaran guru SD
saya ketika itu. Karena pada akhirnya saya harus putus sekolah dan
terlambat kuliah. Bahkan ketika teman-teman seangkatan di kampus sudah
lulus dan mulai menapaki jalan menuju masa depan mereka, saya masih saja
bergulat dengan kampus dan buku-buku. Saya lagi-lagi terlambat.
Ditinggalkan dan sendiri.
Tapi kemudian saya menyadari,
semua keterlambatan yang saya benci ini sebenarnya adalah cara Tuhan
mempertemukan saya dengan takdir yang telah dipersiapkan Tuhan untuk
saya. Jika saya dulu tidak putus sekolah mungkin saya sudah berada di
suatu tempat yang entah membawa saya menjadi apa. Jika saya lulus kuliah
tepat waktu, mungkin saya tidak akan punya kesempatan belajar di Daarul
Hikmah. Atau bahkan mungkin saya tidak akan pernah punya kesempatan
untuk masuk pada lingkaran tarbiyah yang membina saya selama kurang
lebih 5 tahun ini. Dan yang pasti, jika saya dulu menjalani hidup saya
dengan normal seperti orang-orang kebanyakan, entah bagaimana Tuhan akan
mempertemukan saya dengan orang yang tertakdirkan untuk saya saat ini.
0 Comments