Maaf, lagi-lagi postingan saya
bertema tentang pernikahan. Saya memohon kemakluman para pembaca
sekalian, secara masih pengantin baru jadi segala hal yang dilalui
bersama suami pasti berkesan mendalam di hati dan ingin rasanya berbagi
kebahagiaan pada semuanya.
Kali ini saya ingin bercerita tentang para istri yang bagi saya sangat menginspirasi dalam hidup saya. Mereka memang bukan tokoh, tapi cara mereka menjalani rumah tangga dan apa yang telah mereka raih sebagai seorang istri telah membuat saya iri. Sangat iri. Dan mereka adalah orang-orang terdekat saya. Ipar dari kakak angkat dan suami saya.
Istri pertama adalah ipar dari kakak angkat saya. Profilnya pernah saya singgung sedikit di catatan saya yang dulu. Ia --almarhumah-- adalah sosok istri yang telah mendapatkan ridho suaminya atas kematiannya. Saya selalu saja terharu ketika mengisahkan tentang dirinya. Berita kematiannya mengejutkan siapapun teman dan kerabat yang mendengar. Dan coba kita simak bagaimna dia menjalani pernikahan singkatnya dengan kakak angkat saya;
Mbak Ani namanya. Qur'ani Zain. Yang saya tahu, sebelum menikah dengan kakak angkat, dia telah memiliki seorang pacar. Seperti layaknya pemuda kebanyakan. Suatu hari saya pernah bertanya padanya, 'apakah mamas lebih tampan atau punya kelebihan lain sehingga mbak Ani lebih memilih mamas ketimbang pacarnya itu?' Dengan simpel mbak Ani menjawab, 'satu-satunya kelebihan mamasmu adalah ia berhasil mendapat restu dari bapak'. Penasaran, saya bertanya lagi, 'lalu bagaimana dengan cinta? Bukankah mbak lebih mencintai pacar mbak dari pada mamas?' Dan ia menjawab, lagi-lagi sederhana, 'cinta bisa saja luntur, bisa hilang. Tapi komitmen yang dibangun atas dasar ibadah pasti abadi'.
Tentu saja saya masih belum mengerti ketika itu. Hanya kagum padanya yang mau menikah dengan kakak saya yang bagi saya 'payah'. (Biasa lah, pandangan seorang adik perempuan kepada kakak laki-lakinya)
Begitupun dengan kakak angkat saya, dia telah mengoleksi beberapa kandidat wanita yang nantinya akan diajukan kepada keluarganya, untuk dinilai dan dipilih mana yang layak dan cocok untuk dinikahinya. Hingga ketika ia mengajukan mbak Ani, semua anggota keluarga setuju. Dan yang menarik, bukan hanya orang tua yang dimintai pendapat oleh kakak saya, bahkan saya pun ditanya. Bahkan ketika itu, kakak saya bilang jika saya tidak setuju dengan pilihannya maka ia akan mencari yang lain.
Proses pernikahan mereka tak terlalu mudah. Banyak hambatan yang menghalangi. Salah satunya karena saya. Tapi itu bukan hal yang ingin saya ceritakan. Yang ingin saya ceritakan tentang ipar saya yang satu ini adalah tentang caranya mengambil hati orang tua saya, dan tentang caranya membahagiakan suami.
Hal pertama yang saya sesalkan, adalah saya tak pernah sempat bertanya padanya bagaimana cara menundukkan hati bapak. Selama menjadi anggota keluarga di rumah kami, mbak Ani tak pernah sekalipun mengundang kemarahan orang tua saya. Padahal, orang tua saya adalah tipe orang yang mudah terpancing emosi. Sedikit kesalahan bisa membuat mereka naik darah. Dan sejak mbak Ani masuk rumah kami, jarang sekali terdengar bentakan atau suara bapak yang marah-marah. Hingga kini, alhamdulillah bapak sudah tidak pernah marah lagi. Beliau jadi lebih penyabar dan tenang. Selain itu, orang tua saya selalu mengatakan bahwa mbak Ani adalah contoh menantu ideal yang tak pernah mereka temukan pada orang lain. Mamak pernah bercerita pada saya dulu, 'jika bertemu dengan orang lain, mereka selalu menceritakan keburukan menantu mereka. Tapi mamak tak pernah menemukan sedikitpun cacat yang bisa mamak ceritakan kepada orang-orang tentang mbak Ani'.
Kakak angkat saya pun sangat mencintainya. Di pernikahan mereka yang hanya sekitar 4 tahun, rumah tangga mereka selalu terlihat bahagia. Bisa jadi karena memang usia pernikahan yang masih baru, namun saya yakin tentu juga karena komitmen mereka dalam menjalani rumah tangga.
Yang saya tahu, mamas tak pernah makan dengan menu yang sama di pagi dan sore hari. Mbak Ani sangat tahu bahwa suaminya tidak suka makan sayur yang sudah dihangatkan. Ia selalu ingin makan dengan menu baru. Mbak Ani juga selalu punya cara untuk mengingatkan ketika suaminya melakukan kesalahan. Kakak saya pernah bercerita, 'Mbak Ani jauh lebih pintar dari mamas, tapi dia tidak pernah sombong akan hal itu. Setiap kali mamas berbuat salah, dia selalu mengajak mamas berdialog, sehingga mamas menyadari kesalahan mamas tanpa harus dia memberitahu.'
Dan yang paling membuat saya iri padanya adalah, tentu saja kematiannya yang begitu mudah dan ridho suami yang telah menemaninya. Saya selalu ingat, ketika ia meninggal saya sedang menjalani hari terakhir Daurah Marhalah 1 KAMMI. Tanggal 7 September 2008. Seminggu sebelumnya, saya masih sempat menjenguknya di Rumah Sakit setelah melahirkan anak kembarnya. Mbak Ani meninggal dalam keadaan tidur, di rumah saudaranya. Dua hari setelah ia pulang dari rumah sakit.
Sampai saat ini, meskipun kakak angkat saya telah menikah lagi mamak masih sering mengenang mbak Ani dengan berkata, 'tak ada menantu sebaik Ani'.
--(bersambung)--
Kali ini saya ingin bercerita tentang para istri yang bagi saya sangat menginspirasi dalam hidup saya. Mereka memang bukan tokoh, tapi cara mereka menjalani rumah tangga dan apa yang telah mereka raih sebagai seorang istri telah membuat saya iri. Sangat iri. Dan mereka adalah orang-orang terdekat saya. Ipar dari kakak angkat dan suami saya.
Istri pertama adalah ipar dari kakak angkat saya. Profilnya pernah saya singgung sedikit di catatan saya yang dulu. Ia --almarhumah-- adalah sosok istri yang telah mendapatkan ridho suaminya atas kematiannya. Saya selalu saja terharu ketika mengisahkan tentang dirinya. Berita kematiannya mengejutkan siapapun teman dan kerabat yang mendengar. Dan coba kita simak bagaimna dia menjalani pernikahan singkatnya dengan kakak angkat saya;
Mbak Ani namanya. Qur'ani Zain. Yang saya tahu, sebelum menikah dengan kakak angkat, dia telah memiliki seorang pacar. Seperti layaknya pemuda kebanyakan. Suatu hari saya pernah bertanya padanya, 'apakah mamas lebih tampan atau punya kelebihan lain sehingga mbak Ani lebih memilih mamas ketimbang pacarnya itu?' Dengan simpel mbak Ani menjawab, 'satu-satunya kelebihan mamasmu adalah ia berhasil mendapat restu dari bapak'. Penasaran, saya bertanya lagi, 'lalu bagaimana dengan cinta? Bukankah mbak lebih mencintai pacar mbak dari pada mamas?' Dan ia menjawab, lagi-lagi sederhana, 'cinta bisa saja luntur, bisa hilang. Tapi komitmen yang dibangun atas dasar ibadah pasti abadi'.
Tentu saja saya masih belum mengerti ketika itu. Hanya kagum padanya yang mau menikah dengan kakak saya yang bagi saya 'payah'. (Biasa lah, pandangan seorang adik perempuan kepada kakak laki-lakinya)
Begitupun dengan kakak angkat saya, dia telah mengoleksi beberapa kandidat wanita yang nantinya akan diajukan kepada keluarganya, untuk dinilai dan dipilih mana yang layak dan cocok untuk dinikahinya. Hingga ketika ia mengajukan mbak Ani, semua anggota keluarga setuju. Dan yang menarik, bukan hanya orang tua yang dimintai pendapat oleh kakak saya, bahkan saya pun ditanya. Bahkan ketika itu, kakak saya bilang jika saya tidak setuju dengan pilihannya maka ia akan mencari yang lain.
Proses pernikahan mereka tak terlalu mudah. Banyak hambatan yang menghalangi. Salah satunya karena saya. Tapi itu bukan hal yang ingin saya ceritakan. Yang ingin saya ceritakan tentang ipar saya yang satu ini adalah tentang caranya mengambil hati orang tua saya, dan tentang caranya membahagiakan suami.
Hal pertama yang saya sesalkan, adalah saya tak pernah sempat bertanya padanya bagaimana cara menundukkan hati bapak. Selama menjadi anggota keluarga di rumah kami, mbak Ani tak pernah sekalipun mengundang kemarahan orang tua saya. Padahal, orang tua saya adalah tipe orang yang mudah terpancing emosi. Sedikit kesalahan bisa membuat mereka naik darah. Dan sejak mbak Ani masuk rumah kami, jarang sekali terdengar bentakan atau suara bapak yang marah-marah. Hingga kini, alhamdulillah bapak sudah tidak pernah marah lagi. Beliau jadi lebih penyabar dan tenang. Selain itu, orang tua saya selalu mengatakan bahwa mbak Ani adalah contoh menantu ideal yang tak pernah mereka temukan pada orang lain. Mamak pernah bercerita pada saya dulu, 'jika bertemu dengan orang lain, mereka selalu menceritakan keburukan menantu mereka. Tapi mamak tak pernah menemukan sedikitpun cacat yang bisa mamak ceritakan kepada orang-orang tentang mbak Ani'.
Kakak angkat saya pun sangat mencintainya. Di pernikahan mereka yang hanya sekitar 4 tahun, rumah tangga mereka selalu terlihat bahagia. Bisa jadi karena memang usia pernikahan yang masih baru, namun saya yakin tentu juga karena komitmen mereka dalam menjalani rumah tangga.
Yang saya tahu, mamas tak pernah makan dengan menu yang sama di pagi dan sore hari. Mbak Ani sangat tahu bahwa suaminya tidak suka makan sayur yang sudah dihangatkan. Ia selalu ingin makan dengan menu baru. Mbak Ani juga selalu punya cara untuk mengingatkan ketika suaminya melakukan kesalahan. Kakak saya pernah bercerita, 'Mbak Ani jauh lebih pintar dari mamas, tapi dia tidak pernah sombong akan hal itu. Setiap kali mamas berbuat salah, dia selalu mengajak mamas berdialog, sehingga mamas menyadari kesalahan mamas tanpa harus dia memberitahu.'
Dan yang paling membuat saya iri padanya adalah, tentu saja kematiannya yang begitu mudah dan ridho suami yang telah menemaninya. Saya selalu ingat, ketika ia meninggal saya sedang menjalani hari terakhir Daurah Marhalah 1 KAMMI. Tanggal 7 September 2008. Seminggu sebelumnya, saya masih sempat menjenguknya di Rumah Sakit setelah melahirkan anak kembarnya. Mbak Ani meninggal dalam keadaan tidur, di rumah saudaranya. Dua hari setelah ia pulang dari rumah sakit.
Sampai saat ini, meskipun kakak angkat saya telah menikah lagi mamak masih sering mengenang mbak Ani dengan berkata, 'tak ada menantu sebaik Ani'.
--(bersambung)--
0 Comments