Saya kecewa malam ini, seperti malam-malam biasanya. Ia membangunkan
ketika saya sudah tertidur lebih dulu, untuk melihatnya tidur meninggalkan saya
yang sudah tak bisa merasakan kantuk lagi. Saya sedih, sudah sempat tersedak
suara saya tadi ketika merajuk di hadapannya. Tapi saya menahannya karena saya
tahu ia pasti akan sangat merasa bersalah jika melihat saya menangis. Tapi
tentu saja ia tak akan lama memedulikannya karena kemudian ia hanya akan
mengantuk dan memejamkan mata.
![]() |
Image via Favim.com |
Hampir satu bulan pernikahan kami. Selama ini belum pernah
sekalipun saya merasa suami memahami perasaanku, harapan-harapanku terhadapnya,
dan harapan-harapanku untuk rumah tangga
kami. Entah karena ia yang memang tak suka berdiskusi, atau saya yang memang
tak pandai bersyukur. Kekecewaan demi kekecewaan selalu saya rasakan hampir
tiap malam kebersamaan kami. Tapi tentu saja bukan berarti saya tak bahagia. Saya
bersyukur atas dirinya, yang telah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi suamiku. Saya
juga menyadari tentu tidak akan mudah menyatukan sifat yang jauh berbeda dalam
sebuah rumah tangga yang membutuhkan ilmu khusus untuk menjalaninya dengan
baik. Saya berkesimpulan bahwa saya hanya perlu beradaptasi saja dengan gaya
hidup dan sikapnya.
Dan malam ini saya hanya ingin mengeluh, entah pada siapa?
Saya terlalu malu pada Tuhan untuk mengeluhkan sifat manja saya ini. Tak
mungkin juga saya mengeluhkan keadaan ini pada teman-teman.
Sungguh, menikah telah membuat saya harus lebih pandai
mengelola hati. Tiap sikap suami yang membuat saya tak suka, tiap permintaannya
yang tak bisa saya tolak meski keadaan diri tak mau melakukan, dan segala hal
yang tak sesuai keinginan. Bagi saya, pernikahan kami ini benar-benar ujian
keimanan. Sebenarnya saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin tak seharipun
kami lalui tanpa satu kekecewaan yang saya rasakan? Sementara ia selalu punya
cara untuk berbahagia bersama saya tanpa peduli dengan perasaan saya; bahagia
atau justru sengsara melihatnya bahagia?
Ia seolah tak peduli, atau merasa bahwa ketika ia tersenyum
maka saya juga akan ikut bahagia dalam senyuman yang ia minta saya sunggingkan
di hadapannya. Baginya, pernikahan kami sempurna dan kami adalah pasangan yang
serasi. Inilah perbedaan yang masih saya cari cara memanajemennya. Perbedaan kami
yang terlalu banyak dan mencolok.
Jikapun kami harus menjalani hidup dengan perbedaan ini,
maka mungkin saya akan melanjutkan hidup saya yang dulu. Kosong tanpa rasa.
Menikmati cinta yang ia berikan dengan hati yang hampa. Dan makin kecewa karena
ia tak memedulikannya.
0 Comments