Satu bulan usia pernikahan
kami. Sampai saat ini belum ada hal besar yang saya bicarakan bersama
suami. Kesibukannya di sekolah dan kondisi fisik saya yang tak terlalu
baik membuat pertemuan kami jarang efektif. Seringkali jika suami pulang
malam, saya sudah terlelap dan begitu pagi datang kami harus segera
menyiapkan diri untuk menjalankan aktifitas kami masing-masing.
Jika pun kami berkesempatan bersama, biasanya tak benar-benar bersama. Setelah dijemput suami sepulang sekolah, kami ke sekolahnya dan tentu saja sesampai di sekolah kami berpisah. Dia dengan murid putra, dan saya ke asrama putri. Begitu suami yakin bahwa sekolah sudah bisa ditinggal, maka kami pulang dengan kelelahan.
Tapi tadi malam saya sengaja menunggunya. Sudah satu bulan usia pernikahan kami dan kami belum pernah berdiskusi tentang hal-hal penting untuk rumah tangga kami. Saya bisa lihat ekspresi terkejutnya ketika masuk kamar dan saya masih duduk menanti kepulangannya. Dia tersenyum senang, dan tentu saja dengan gaya khasnya yang cuek tetap berlalu melewati saya yang sudah siap mengajaknya bicara.
Saya sudah menjadi istrinya selama sebulan. Sudah cukup tahu sedikit sifat dan karakternya. Meski sedikit, cukup untuk modal hidup bersamanya selama bulan-bulan ke depan. Saya juga cukup tahu bagaimana caranya agar dia mau duduk dan mendengar saya bicara. Dengan perlahan saya sampaikan bahwa harapannya untuk menjadi seorang ayah mungkin saja akan segera terwujud.
Sebagai istrinya yang telah menjalani hidup bersama selama sebulan, saya sudah menyiapkan diri untuk melihat ekspresinya yang mungkin akan biasa saja. Tapi untuk tadi malam, saya ternyata salah menduga. Ekspresinya ketika mendengar kabar dari saya cukup bisa membuat saya merasa sangat dicintai. Dan saya bahagia. Sangat bahagia.
Dan kini, setelah kami menjalani pernikahan selama sebulan saya memutuskan untuk segera menulis ulang peta hidup yang selama ini masih belum di revisi. Saya tidak lagi peduli jika dia masih tidak suka untuk duduk berdiskusi membicarakan rencana-rencana masa depan untuk keluarga kami. Saya hanya akan menyodorkan naskah peta itu padanya agar disepakati, karena saya --yang telah menjadi istrinya selama sebulan ini-- mengetahui bahwa dia adalah tipe orang yang menjalani hidupnya dengan terlalu datar sehingga tak pernah punya target dalam hidup. Hidupnya yang terlalu normal membuatnya menjalani hidup ini dengan santai karena segala yang dia butuhkan selalu dia dapatkan dengan mudah. Maka saya memilih untuk tetap menulis ulang peta hidup saya bersamanya, dengan cara dan rencana saya sendiri.
Jika pun kami berkesempatan bersama, biasanya tak benar-benar bersama. Setelah dijemput suami sepulang sekolah, kami ke sekolahnya dan tentu saja sesampai di sekolah kami berpisah. Dia dengan murid putra, dan saya ke asrama putri. Begitu suami yakin bahwa sekolah sudah bisa ditinggal, maka kami pulang dengan kelelahan.
Tapi tadi malam saya sengaja menunggunya. Sudah satu bulan usia pernikahan kami dan kami belum pernah berdiskusi tentang hal-hal penting untuk rumah tangga kami. Saya bisa lihat ekspresi terkejutnya ketika masuk kamar dan saya masih duduk menanti kepulangannya. Dia tersenyum senang, dan tentu saja dengan gaya khasnya yang cuek tetap berlalu melewati saya yang sudah siap mengajaknya bicara.
Saya sudah menjadi istrinya selama sebulan. Sudah cukup tahu sedikit sifat dan karakternya. Meski sedikit, cukup untuk modal hidup bersamanya selama bulan-bulan ke depan. Saya juga cukup tahu bagaimana caranya agar dia mau duduk dan mendengar saya bicara. Dengan perlahan saya sampaikan bahwa harapannya untuk menjadi seorang ayah mungkin saja akan segera terwujud.
Sebagai istrinya yang telah menjalani hidup bersama selama sebulan, saya sudah menyiapkan diri untuk melihat ekspresinya yang mungkin akan biasa saja. Tapi untuk tadi malam, saya ternyata salah menduga. Ekspresinya ketika mendengar kabar dari saya cukup bisa membuat saya merasa sangat dicintai. Dan saya bahagia. Sangat bahagia.
Dan kini, setelah kami menjalani pernikahan selama sebulan saya memutuskan untuk segera menulis ulang peta hidup yang selama ini masih belum di revisi. Saya tidak lagi peduli jika dia masih tidak suka untuk duduk berdiskusi membicarakan rencana-rencana masa depan untuk keluarga kami. Saya hanya akan menyodorkan naskah peta itu padanya agar disepakati, karena saya --yang telah menjadi istrinya selama sebulan ini-- mengetahui bahwa dia adalah tipe orang yang menjalani hidupnya dengan terlalu datar sehingga tak pernah punya target dalam hidup. Hidupnya yang terlalu normal membuatnya menjalani hidup ini dengan santai karena segala yang dia butuhkan selalu dia dapatkan dengan mudah. Maka saya memilih untuk tetap menulis ulang peta hidup saya bersamanya, dengan cara dan rencana saya sendiri.
![]() |
Image via ww2.kqed.org |
0 Comments