Sedianya hari ini saya ingin menulis tentang hal
yang ringan-ringan saja. Semacam review produk Oriflame atau apa gitu yang
bikin santai. Tapi ternyata ada satu peristiwa yang membuat saya sangat
terpukul sehingga saya ingin menuliskan hikmah dari peristiwa itu, di blog ini.
Ceritanya berawal ketika kemarin, suami saya sedang
stalking di facebook. Beliau melihat salah seorang adik tingkat kami –sebut saja
Fulan-- yang memposting foto anaknya, Masya Allah imut-imut dan menggemaskan.
Kalau dilihat dari fotonya, mungkin sekitar 2 bulan usia si bayi perempuan itu.
Suami saya kaget dan bertanya pada saya, ‘kapan si Fulan ini menikah?’
Qadarullah saya juga lupa atau memang tidak tahu kapan persisnya Fulan menikah
karena tidak terlintas sama sekali dalam ingatan. Maka saya pun dengan ringan
mengatakan ‘tanyalah sama orangnya, aku juga nggak tau kapan dia nikahnya’
Lalu suami mengomentari postingan itu, yang intinya
beliau tidak tahu kapan pernikahan si Fulan kok tiba-tiba sudah punya anak. Tidak
berselang lama ketika saya juga sedang membuka facebook, postingan si Fulan
tersebut muncul di timeline saya juga. Iseng lah saya buka kolom komentar,
ternyata memang ada beberapa orang yang menanyakan hal yang sama dengan
pertanyaan suami saya. Maka saya juga ikut-ikutan komen, ‘bukan cuma saya kan
yang tanya kapan nikahnya?’
Dari situlah prasangka bermula. Seorang sahabat satu
angkatan saya menjawab komentar saya, menjelaskan bahwa Fulan sudah lama
menikah sambil memposting capture foto pernikahan yang sudah diupload di facebook
beberapa bulan lalu, kemudian disambut dengan komentar dari satu sahabat yang
lain yang intinya menyindir saya yang tidak perhatian pada saudara sendiri. Saya
pun kemudian meminta maaf, karena berdasarkan tanggal dari foto pernikahan itu,
sepertinya itu adalah waktu ketika smartphone saya sedang rusak sehingga saya
tidak pernah online.
Tak berselang lama, salah satu sahabat saya itu
mengirim inbox kepada saya, ‘anti kok pura-pura polos begitu sih?’ Saya pun
kaget membacanya. Polos bagaimana maksudnya? Belum sempat saya mempertanyakan
itu, sudah muncul lagi sebuah tulisan ‘si Fulan itu kan waktu nikah istrinya
sudah hamil 5 bulan.’
Tahu bagaimana ekspresi saya ketika membaca isi
inbox itu?! Kaget, tidak percaya, pastinya. Tapi ini sahabat saya sendiri yang
menyampaikan. Tidak mungkin dia akan berbohong sampai sedemikian rupa pada
saya, apalagi ini mengenai saudara kami juga. Namun ternyata apa yang
disampaikannya benar adanya. Saya pun menangis tak tertahan lagi.
Tak habis pikir. Beberapa menit saya terus
menggeleng-gelengkan kepala demi mengetahui kenyataan itu. Bagaimana mungkin?
Seorang yang selalu berada dalam lingkungan baik, terlihat santun dalam
kesehariannya mampu berbuat senista itu? Lebih sedih lagi ketika tahu bahwa
ternyata sang istri juga bukanlah perempuan ‘nakal’. Bahkan termasuk salah satu
kader unggulan saat itu.
Berkali-kali saya istighfar. Mencoba menerka-nerka,
hal apa yang bisa menjerumuskan mereka seperti itu? Bagaimana mungkin dia justru
masih punya muka berhadapan dengan orang-orang?
Saya terus terpikir tentang peristiwa itu sampai
akhirnya saya memutuskan untuk berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya. Bagi saya
berdiskusi adalah wajib, ketika saya merasa buntu. Terutama berdiskusi dengan
orang yang mampu menenangkan dengan kalimat-kalimat yang baik. Hal itu sangat
dibutuhkan. Agar saya tidak berpikiran melenceng, agar akal saya tidak
tergelincir.
Dari peristiwa itu kemudian saya menemukan sebuah
pembuktian, bahwa iman seseorang memang naik dan turun. Dan kita memang tidak
akan pernah bisa menjamin bahwa kehidupan seseorang akan terus berada dalam
garis lurus ketaatan. Sesekali pasti manusia akan pernah jatuh pada lembah
dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang bertaubat.
Saya juga pernah berbuat dosa, mungkin yang terburuk
selama hidup saya –dan saya sangat menyesalinya--. Maka saya juga tidak bisa
menghakimi orang yang telah berbuat dosa, apalagi memandang rendah mereka. Saya
sedih, iya. Karena dia saudara saya, adik saya, yang saya tahu selama ini
selalu dalam lingkungan orang-orang shalih ternyata berbuat maksiat. Saya merasa
gagal. Dan saya juga marah, iya. Karena tak habis pikir bagaimana mungkin
seorang yang sudah paham syariat mampu melakukan hal keji seperti itu. Tapi kembali
saya berkaca, saya pun pernah berbuat dosa.
Lalu tiba-tiba saya merasa takut. Takut kalau-kalau
hal yang sama menimpa saya. Takut kalau-kalau nanti ada masanya ketika iman
saya ada pada titik terlemah, saya terjerumus lagi ke dalam dosa. Maka cepat-cepat
saya mencari nasihat. Masya Allah, untuk saat ini saya sangat bersyukur karena
akses informasi yang begitu mudah membuat kita bisa mendapatkan tausiyah dari
situs Islam manapun yang kita mau. Dan demi menenangkan hati saya kali ini,
saya terus menerus mendzikirkan doa dalam hati, agar Allah senantiasa menjaga
iman saya. Agar saya tetap istiqomah menjaga nikmat Allah yang paling besar
ini. Agar setan tak punya kesempatan untuk merampasnya dari hati. Saya takut,
sungguh takut kalau-kalau sampai hal itu terjadi ternyata di penghujung jatah
hidup saya. Na’udzubillah.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hatiku, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hatiku, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu.
0 Comments