![]() |
Picture belongs to BBC |
Terlambat sekali saya baru menulis review tentang film Spotlight saat ini. Padahal filmnya sudah tayang awal tahun lalu. Tapi tidak apa-apa kan daripada tidak sama sekali?!
Saya sudah lama sekali mencari film ini karena tahu dari berita bahwa film ini adalah pemenang Oscar dalam kategori Best Picture. Makin penasaran setelah membaca sinopsis dan beberapa review dari beberapa website. Pas sekali ketika awal bulan Oktober saya masih nifas, cuti dari mengajar dan benar-benar tidak punya aktifitas apapun yang berguna saya putuskan untuk hunting film. Iya, saya penyuka film tapi tidak suka bioskop. Jadi saya nonton film hanya dari layar komputer saja. Filmnya dapat dari download. Haha... Jangan ditiru ya, 😁
Back to the review, saya perlu beberapa kali nonton untuk benar-benar paham alur cerita film ini. Tokohnya yang banyak dan alur yang menurut saya cukup cepat membuat saya agak bingung ketika baru memulai menonton. Ditambah lagi dialog-dialog yang juga cepat dan panjang, perlu konsentrasi supaya benar-benar mengerti jalan cerita filmnya.
Apa yang membuat saya tertarik pada film ini adalah karena diangkat dari kisah nyata. Ya, belakangan saya lebih tertarik pada film yang diilhami kisah nyata karena menurut saya punya lebih banyak manfaat daripada hanya sekadar nonton cerita fiksi yang kadang hanya jadi hiburan. Dan kisah Spotlight ini mengacu pada nama sebuah tim wartawan 'elit', bagian dari perusahaan koran ternama The Boston Globe yang mengkhususkan dirinya pada investigasi jurnalistik mendalam terhadap isu-isu sosial bawah radar yang terjadi di Amerika. Tim ini dikepalai oleh editor Walter "Robby" Robinson (Michale Keaton), yang memimpin tiga orang jurnalis: Mike Rezendes (Mike Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Bria d'Arcy James). Atas perintah pemimpin redaksi yang baru, Marty Baron (Liev Schreiber) Spotlight berusaha mengungkap sebuah kasus pelecehan seksual oleh seorang pastur di Boston, yang awalnya hanya jadi liputan biasa di salah satu rubrik koran mereka. Hasil penyelidikan ini berhasil memenangkan Pulitzer Prize --Penghargaan bergengsi untuk karya tulis jurnalistik dan literatur. Keren kan?!
Gambaran Investigasi JurnalistikSaya sudah lama sekali mencari film ini karena tahu dari berita bahwa film ini adalah pemenang Oscar dalam kategori Best Picture. Makin penasaran setelah membaca sinopsis dan beberapa review dari beberapa website. Pas sekali ketika awal bulan Oktober saya masih nifas, cuti dari mengajar dan benar-benar tidak punya aktifitas apapun yang berguna saya putuskan untuk hunting film. Iya, saya penyuka film tapi tidak suka bioskop. Jadi saya nonton film hanya dari layar komputer saja. Filmnya dapat dari download. Haha... Jangan ditiru ya, 😁
Back to the review, saya perlu beberapa kali nonton untuk benar-benar paham alur cerita film ini. Tokohnya yang banyak dan alur yang menurut saya cukup cepat membuat saya agak bingung ketika baru memulai menonton. Ditambah lagi dialog-dialog yang juga cepat dan panjang, perlu konsentrasi supaya benar-benar mengerti jalan cerita filmnya.
Apa yang membuat saya tertarik pada film ini adalah karena diangkat dari kisah nyata. Ya, belakangan saya lebih tertarik pada film yang diilhami kisah nyata karena menurut saya punya lebih banyak manfaat daripada hanya sekadar nonton cerita fiksi yang kadang hanya jadi hiburan. Dan kisah Spotlight ini mengacu pada nama sebuah tim wartawan 'elit', bagian dari perusahaan koran ternama The Boston Globe yang mengkhususkan dirinya pada investigasi jurnalistik mendalam terhadap isu-isu sosial bawah radar yang terjadi di Amerika. Tim ini dikepalai oleh editor Walter "Robby" Robinson (Michale Keaton), yang memimpin tiga orang jurnalis: Mike Rezendes (Mike Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Bria d'Arcy James). Atas perintah pemimpin redaksi yang baru, Marty Baron (Liev Schreiber) Spotlight berusaha mengungkap sebuah kasus pelecehan seksual oleh seorang pastur di Boston, yang awalnya hanya jadi liputan biasa di salah satu rubrik koran mereka. Hasil penyelidikan ini berhasil memenangkan Pulitzer Prize --Penghargaan bergengsi untuk karya tulis jurnalistik dan literatur. Keren kan?!
Bagi yang tidak tahu dunia jurnalistik, film ini memberikan gambaran yang benar tentang kerja-kerja jurnalistik yang menjunjung tinggi kode etik. Kita bisa merasakan keasyikan dari sebuah thriller investigasi dengan tensi yang terjaga rapi di saat tim melakukan penyelidikan sebagai jurnalis. Setiap ensamble cast-nya bermain begitu cemerlang membawakan peran mereka masing-masing sesuai kapasitasnya tanpa terlihat harus terlalu berlebihan atau menjadi yang paling menonjol di antara yang lain, baik itu pimpinan maupun bawahan semua terasa begitu penting perannya. Sementara elemen dramanya juga bekerja sama bagusnya ketika pencarian mereka akan sebuah kebenaran ternyata juga bisa berimplikasi dengan sisi personal tersendiri mengingat subjek yang mereka hadapi memang tergolong berat. Ada sebuah dilema moral yang harus dihadapi setiap tokohnya, bagaimana mereka memisahkan ego pribadi dan junjungan profesionalitas kerja, semua itu digambarkan dengan sangat relevan dan natural tanpa membuatnya menjadi semakin rumit.
Satu hal yang paling saya suka dari film ini adalah caranya menyampaikan isu yang sangat sensitif tanpa harus menjadi terlalu berlebihan. Film ini menyampaikan semua bagaikan jurnalis yang harus melihat segala sesuatu secara objektif dan dari berbagai sisi. Contoh yang paling terlihat adalah kepekaan film ini terhadap cerita-cerita para korban. Cerita-cerita itu diungkap cukup lugas—bahkan dijelaskan mengapa korbannya lebih banyak anak laki-laki—yang membuatnya bisa memberi efek emosional. Ini bukan hanya tentang apa yang mereka alami, tetapi bahwa film ini mewakili mereka untuk bersuara, ketika tekanan sosial selama ini memaksa mereka untuk bungkam.
Contoh lain yang juga menarik adalah pandangan terhadap agama. Memang benar bahwa para jurnalis ini sedang membongkar kejahatan yang dilakukan di dalam institusi agama, dalam hal ini gereja Katolik. Adanya kasus ini juga membuat beberapa tokoh utamanya meragukan kepercayaan mereka terhadap kegiatan keagamaan. Namun, film ini juga memberi tempat bagi mereka yang berasal dari dalam insitusi yang berani melawan, sebagaimana dicerminkan oleh oleh salah satu narasumber yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara keyakinan dan institusi agama.
Film ini dituturkan layaknya para jurnalis dalam ceritanya: fokus pada tujuan pembongkaran kejahatan yang terjadi di dalam institusinya, bukan menyerang secara membabibuta. Tidak mempertanyakan posisi para pelaku dari keyakinannya, tetapi bagaimana sebuah sistem yang dibuat oleh para pembuat keputusan dalam institusi tersebut membuat pelaku bisa leluasa mengulangi kejahatannya lagi. --Cara kerja yang menurut saya sudah sulit ditemukan pada para jurnalis di Indonesia saat ini?-- Di saat bersamaan, film ini pun jadi cerminan harapan para korban untuk bisa didengarkan dan mendapat keadilan. Pada akhirnya, saya sangat merekomendasikan film ini bagi siapapun yang ingin tontonan berkwalitas. Dengan cerita yang kuat dan dukungan para pemain yang keren film ini memang layak untuk mendapatkan pernghargaan, bukan hanya pujian.
Dan ketika menulis ini saya teringat pada 2 hal. Pertama tentang kasus Gubernur Jakarta. Terlepas dari apapun kepentingan yang melatarbelakangi kasus itu, jika dilihat dari sudut pandang jurnalistik seperti di film ini maka pemotongan video yang dilakukan seorang dosen yang punya latarbelakang pendidikan dan pekerjaan sebagai jurnalis itu adalah benar. Seperti apa yang dikatakan Mike Rezendes ketika memaksa hakim untuk membuka dokumen barang bukti ke publik. "Di mana tanggung jawab editorial jika dokumen seperti itu tidak dipublikasikan?"
Kedua, sebagai muslim saya bersyukur bahwa posisi ulama/kyai/ahli agama dalam Islam tidaklah semulia pastur dalam agama Nasrani. Ustadz atau guru agama apapun namanya tetaplah manusia biasa yang jika berbuat salah harus dihukum juga. Saya sampai menangis ketika melihat scene Mike membacakan surat-surat dari para korban. Saya benar-benar bisa merasakan emosinya. Kecewa, marah dan mungkin semua perasaan jengkel bercampur jadi satu. Betapa institusi agama yang seharusnya menjaga iman para umatnya justru menjadi pelindung bagi perbuatan jahat yang sungguh tidak beradab. Terlebih lagi, hal itu berlangsung lama dan mendunia. How can?!
Tapi memang begitulah, institusi itu buatan manusia. Sementara Tuhan tetaplah absolut kebenarannya. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan atas kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengaku menjaga agamaNya.
Contoh lain yang juga menarik adalah pandangan terhadap agama. Memang benar bahwa para jurnalis ini sedang membongkar kejahatan yang dilakukan di dalam institusi agama, dalam hal ini gereja Katolik. Adanya kasus ini juga membuat beberapa tokoh utamanya meragukan kepercayaan mereka terhadap kegiatan keagamaan. Namun, film ini juga memberi tempat bagi mereka yang berasal dari dalam insitusi yang berani melawan, sebagaimana dicerminkan oleh oleh salah satu narasumber yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara keyakinan dan institusi agama.
Film ini dituturkan layaknya para jurnalis dalam ceritanya: fokus pada tujuan pembongkaran kejahatan yang terjadi di dalam institusinya, bukan menyerang secara membabibuta. Tidak mempertanyakan posisi para pelaku dari keyakinannya, tetapi bagaimana sebuah sistem yang dibuat oleh para pembuat keputusan dalam institusi tersebut membuat pelaku bisa leluasa mengulangi kejahatannya lagi. --Cara kerja yang menurut saya sudah sulit ditemukan pada para jurnalis di Indonesia saat ini?-- Di saat bersamaan, film ini pun jadi cerminan harapan para korban untuk bisa didengarkan dan mendapat keadilan. Pada akhirnya, saya sangat merekomendasikan film ini bagi siapapun yang ingin tontonan berkwalitas. Dengan cerita yang kuat dan dukungan para pemain yang keren film ini memang layak untuk mendapatkan pernghargaan, bukan hanya pujian.
Dan ketika menulis ini saya teringat pada 2 hal. Pertama tentang kasus Gubernur Jakarta. Terlepas dari apapun kepentingan yang melatarbelakangi kasus itu, jika dilihat dari sudut pandang jurnalistik seperti di film ini maka pemotongan video yang dilakukan seorang dosen yang punya latarbelakang pendidikan dan pekerjaan sebagai jurnalis itu adalah benar. Seperti apa yang dikatakan Mike Rezendes ketika memaksa hakim untuk membuka dokumen barang bukti ke publik. "Di mana tanggung jawab editorial jika dokumen seperti itu tidak dipublikasikan?"
Kedua, sebagai muslim saya bersyukur bahwa posisi ulama/kyai/ahli agama dalam Islam tidaklah semulia pastur dalam agama Nasrani. Ustadz atau guru agama apapun namanya tetaplah manusia biasa yang jika berbuat salah harus dihukum juga. Saya sampai menangis ketika melihat scene Mike membacakan surat-surat dari para korban. Saya benar-benar bisa merasakan emosinya. Kecewa, marah dan mungkin semua perasaan jengkel bercampur jadi satu. Betapa institusi agama yang seharusnya menjaga iman para umatnya justru menjadi pelindung bagi perbuatan jahat yang sungguh tidak beradab. Terlebih lagi, hal itu berlangsung lama dan mendunia. How can?!
Tapi memang begitulah, institusi itu buatan manusia. Sementara Tuhan tetaplah absolut kebenarannya. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan atas kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengaku menjaga agamaNya.