Di
Indonesia, setidaknya telah delapan kali terjadi perubahan kurikulum
pendidikan –kalau saya tidak salah-. Yang terakhir, pemberlakuan
kurikulum 2013 diharapkan mampu menguatkan proses pembentukan karakter
peserta didik disekolah dengan penambahan kompetensi inti berupa
penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut oleh peserta didik.
Secara
khusus, pembentukan karakter telah ditanamkan pada tiga mata pelajaran
yang masing-masing berfungsi membentuk karakter peserta didik sesuai
dengan aspek keilmuannya. Mata pelajaran yang dibebankan untuk membentuk
karakter itu adalah pendidikan agama, untuk membentuk karakter
religius, pendidikan moral pancasila untuk pembentukan karakter
kebangsaan dan pendidikan sastra untuk pembentukan karakter budaya.
Membicarakan
pendidikan sastra, menurut pengamatan saya –mungkin juga Anda semua-
saat ini sastra selalu dipandang sebagai ilmu terbelakang yang tidak
memberikan kontribusi langsung untuk memperbaiki masyarakat. Hanya
menggantung di langit imajinasi, tidak berpijak di bumi, beda dengan
ilmu-ilmu lain seperti kedokteran dan teknik. Padahal dalam sebuah karya
sastra kita bisa mengenali karakter dan menemukan nilai-nilai yang bisa
menunjang pembentukan watak seseorang. Sastra mampu masuk ke hati
sehingga memperbaiki moralitas anak kita.
Petuah
Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra
dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita
menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan
sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk
peduli dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa
diungkapkan tanpa kesan menggurui. Bahkan kegemilangan sebuah peradaban
bisa dilihat dari sastrawan dan karya-karya sastra yang lahir pada masa
itu. Seperti kegemilangan Islam yang melahirkan ulama sekaligus
sastrawan seperti Imam Syafi’i, Jalaluddin Rumi, Umar al Khayyam dll. Di
Jepang, sastra begitu dinamis seperti munculnya puisi-puisi pendek yang
kita kenal dengan haiku. Bahkan jika kita menonton di film-film
kolosal China, anak-anak di China belajar membaca dengan didiktekan
puisi. Bukan sekadar teks yang dieja.
Sastra dan
bahasa memiliki hubungan erat, keduanya seperti dua mata uang yang
tidak dapat dipisahkan. Kedalaman pemakaian bahasa justru terdapat pada
sastra. Namun, strategi pembelajaran sastra sangat berbeda dengan
strategi pembelajaran bahasa. Belajar bahasa pada akhirnya adalah
belajar komunikasi. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam berkomunikasi secara lisan maupun
tulis. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak dapat disatukan dengan
pembelajaran bahasa.
Dan sedihnya lagi, kini secara
nyata pembelajaran sastra sudah tidak ada lagi disekolah-sekolah.
Pembelajaran sastra kini berfungsi sebagai alat untuk pembelajaran
keterampilan berbahasa. Bukan sebagai substansi.
Maka dari sini
timbul pertanyaan, dengan materi sastra yang ada, apakah mungkin
pembelajaran sastra dapat diajarkan sesui dengan hakikat sastra?
Sedangkan hakikat sastra adalah membicarakan tentang kemanusiaan dari
semua sisi di samping pembicaraan tentang struktur karya itu sendiri.
Pembelajaran sastra tidak sama dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa cenderung membentuk keterampilan peserta didik dalam berbahasa.
Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran tentang kehidupan manusia.
Melalui
sastra, seseorang dapat mengurangi mozaik perubahan dan/atau
konsistensi sosial pada masa yang melingkupi, bahkan spekulasi jauh dari
teks sastra yang dibuat. Karya sastra merupakan interpretasi dan
rekonstruksi realitas sosial yang dihadapi, bahkan dialami oleh penulis
sastra. Interpretasi dan rekonstruksi sosial dalam karya sastra sangat
bergantung kepada ideologi penulis sastra, sebagai suatu yang khas.
Tidak jarang rangkaian kata-kata eksotis sebetulnya adalah pergolakan,
bahkan lebih keras dapat dikatakan sebagai pemberontakan terhadap
ketimpangan sosial.
Demikianlah, maka seseorang yang
telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan
yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak
bernilai. Secara umum lebih lanjut dia akan mampu menghadapi
masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa
simpati yang lebih mendalam. Dalam karya sastra terkandung nilai-nilai,
pesan yang dibungkus dalam cerita yang merefleksikan kehidupan sosial,
konflik cerita, serta cara-cara tokoh mengelola konflik. Hal ini tentu
saja memberikan pelajaran untuk menghadapi persoalan kehidupan. Melalui
pembacaan yang mendalam, sastra pada akhirnya mampu mengubah karakter
seseorang.
Memang, seorang anak yang menggemari sastra
biasanya akan terlihat lebih melankolis dan cenderung lemah. Akan tetapi
sesungguhnya semakin ia mempelajari, ia akan semakin kuat dalam
menghadapi permasalahan hidup karena hatinya lebih sensitif dan peka
terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi di sekelilingnya.
Jadi,
kita –jika sebagai orang tua- mestinya tidak lagi khawatir jika
ternyata anak kita tertarik dengan sastra. Karena sastra adalah sumber
nilai yang mampu memberikan kesan religius. Mempelajari sastra mampu
menyentuh bahkan menggerakkan perasaan kita hingga mengubah pola sikap
dan membentuk karakter. Di dalamnya terkandung pesan-pesan moral,
ungkapan kata-katanya menimbulkan kesan estetis. Nilai-nilai yang baik
tentu akan kita temukan jika karya sastranya juga mengandung ruh
spiritual dan kebaikan.
“Sastra bisa menampung semua gejolak dalam diri, mengurangi derita serta membuatmu lebih peka serta berdaya.” ― Helvy Tiana Rosa
0 Comments