Membaca catatan
Dewi "Dee" Lestari tentang perpisahan, membuat saya kembali merenung.
Memaknai kembali hidup yang telah saya jalani selama hampir 24 tahun,
ternyata begitu banyak peristiwa perpisahan yang mengiringi.
Seperti halnya orang lain, saya pun membenci perpisahan. Lebih benci lagi, karena saya tidak bisa mengekspresikan kesedihan yang saya rasakan. Dan juga seperti orang lain, sebenarnya saya pun menyadari bahwa ketika kita bertemu dengan orang-orang baru lalu kemudian berinteraksi dengan mereka, perpisahan pasti akan terjadi suatu saat nanti dan kita harus siap menghadapinya. Pertemuan dan perpisahan selalu hadir sepaket, tidak bisa dipisah.
Saya memahami keberadaan saya di dunia ini dengan perpisahan. Memaknai indahnya cinta dengan perpisahan. Merasakan arti pentingnya keluarga dengan perpisahan. Menyadari betapa besarnya hajat terhadap seorang teman pun dengan perpisahan. Begitu banyaknya perpisahan yang saya alami, membuat saya tak mampu lagi mengungkapkan betapa bencinya saya dengan perpisahan dan tak ingin menghadapinya.
Tapi nyatanya memang harus tetap berpisah, kan? Jika memang sudah waktunya, perpisahan akan terjadi sebagaimana ajal yang menjemput. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.
Dan untuk perpisahan yang saya hadapi saat ini, kembali saya kalah. Saya tidak mampu bersikap dewasa menghadapinya, tetap bersembunyi dalam 'gua' saya sendiri sambil melihat satu per satu harapan-harapan itu pergi meninggalkan saya dengan kejamnya. Sama persis ketika sahabat saya pulang -dan sebenarnya sudah saya duga-, saya hanya duduk diam ketika dia berpamitan pada semua orang. Tak tersenyum, tidak juga menangis. Hanya terasa ada yang sesak di dalam dada, ada ketakutan yang tiba-tiba menguasai hati. Dan tak ada seorangpun yang tahu.
Ya, saya kalah karena tidak mampu mengelak dari perpisahan ini. Dan saya benci karena saya tidak mampu mengisi hari-hari kebersamaan yang saya miliki selama ini dengan baik karena saya terlalu sibuk bergelut dengan masalah saya sendiri. Entah apakah saya akan dimaafkan kali ini, saya pasrah. Karena bagi saya kali ini, yang terpenting bukanlah menuruti egoisme saya untuk tetap 'bercinta' dengan semua sahabat yang menanti saya dengan cemas dan curiga. Namun, menikmati jenak-jenak bersama adik yang tak pernah saya temui, mendengar suaranya, memahami keinginannya yang tak pernah ia ucapkan, melihatnya tidur di sisi adalah pembayaran hutang yang tak akan pernah bisa saya lunasi sampai kapan pun atas penolakan saya terhadapnya 15 tahun yang lalu.
Seperti halnya orang lain, saya pun membenci perpisahan. Lebih benci lagi, karena saya tidak bisa mengekspresikan kesedihan yang saya rasakan. Dan juga seperti orang lain, sebenarnya saya pun menyadari bahwa ketika kita bertemu dengan orang-orang baru lalu kemudian berinteraksi dengan mereka, perpisahan pasti akan terjadi suatu saat nanti dan kita harus siap menghadapinya. Pertemuan dan perpisahan selalu hadir sepaket, tidak bisa dipisah.
Saya memahami keberadaan saya di dunia ini dengan perpisahan. Memaknai indahnya cinta dengan perpisahan. Merasakan arti pentingnya keluarga dengan perpisahan. Menyadari betapa besarnya hajat terhadap seorang teman pun dengan perpisahan. Begitu banyaknya perpisahan yang saya alami, membuat saya tak mampu lagi mengungkapkan betapa bencinya saya dengan perpisahan dan tak ingin menghadapinya.
Tapi nyatanya memang harus tetap berpisah, kan? Jika memang sudah waktunya, perpisahan akan terjadi sebagaimana ajal yang menjemput. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.
Dan untuk perpisahan yang saya hadapi saat ini, kembali saya kalah. Saya tidak mampu bersikap dewasa menghadapinya, tetap bersembunyi dalam 'gua' saya sendiri sambil melihat satu per satu harapan-harapan itu pergi meninggalkan saya dengan kejamnya. Sama persis ketika sahabat saya pulang -dan sebenarnya sudah saya duga-, saya hanya duduk diam ketika dia berpamitan pada semua orang. Tak tersenyum, tidak juga menangis. Hanya terasa ada yang sesak di dalam dada, ada ketakutan yang tiba-tiba menguasai hati. Dan tak ada seorangpun yang tahu.
Ya, saya kalah karena tidak mampu mengelak dari perpisahan ini. Dan saya benci karena saya tidak mampu mengisi hari-hari kebersamaan yang saya miliki selama ini dengan baik karena saya terlalu sibuk bergelut dengan masalah saya sendiri. Entah apakah saya akan dimaafkan kali ini, saya pasrah. Karena bagi saya kali ini, yang terpenting bukanlah menuruti egoisme saya untuk tetap 'bercinta' dengan semua sahabat yang menanti saya dengan cemas dan curiga. Namun, menikmati jenak-jenak bersama adik yang tak pernah saya temui, mendengar suaranya, memahami keinginannya yang tak pernah ia ucapkan, melihatnya tidur di sisi adalah pembayaran hutang yang tak akan pernah bisa saya lunasi sampai kapan pun atas penolakan saya terhadapnya 15 tahun yang lalu.
0 Comments