Saya termasuk orang tua yang kurang peduli dengan tinggi badan anak. Selama ini kalau bawa anak ke dokter atau posyandu, nggak pernah saya perhatikan pertumbuhan mereka karena menurut saya tinggi mereka standar saja. Ternyata, tinggi badan anak bukan cuma perkara sepele. Hari ini saya baru tahu setelah menghadiri acara #temublogger yang dilaksanakan oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Bandar Lampung di Hotel Novotel Bandar Lampung.
Jujur saja, baru pertama kali ini saya dengar istilah prevalensi stunting. Mungkin sebagian dari kita ada juga yang belum tahu istilah tersebut. Prevalensi stunting biasa disebut juga situasi balita pendek. Di acara tersebut, dr. Marina Darayanti yang menjadi narasumbernya menjelaskan bahwa prevalensi stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami hambatan untuk tumbuh disebabkan asupan gizi yang kurang. Jadi bukan karena genetik atau kelainan fisik. Saya juga coba googling dan ternyata Kementerian Kesehatan sudah punya bahan sosialisasi mengenai hal ini. Kita bisa mengaksesnya di sini. Dalam file tersebut diterangkan bahwa masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari
kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita
selama masa balita. Artinya ada banyak hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami stunting.
Meskipun terlihat sepele, tapi ternyata stunting bisa berakibat buruk pada seorang anak. Misalnya saja anak yang mengalami stunting dalam jangka pendek akan terganggu perkembangan otaknya, metabolisme tubuhnya juga akan terpengaruh. Dan dalam jangka panjang hal itu bisa menyebabkan menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
![]() |
Sumber gambar dari sini |
Mendengarkan pemaparan dr. Marina membuat saya tercengang kaget sekaligus berpikir, apakah informasi ini sudah tersampaikan secara luas kepada para orang tua mengingat saya sendiri selama ini nggak pernah mendengar istilah ini baik dari dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Lebih lanjut, dr. Marina menyampaikan upaya mengatasi stunting diantaranya dengan menjaga asupan gizi bagi ibu hamil terutama pada trimester pertama. Setiap ibu hamil perlu mendapat suplemen penambah darah di 90 hari kehamilan pertamanya. Untung saja suami saya dulu rajin mengingatkan untuk minum obat penambah darah ketika saya hamil. 😃
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan IMD atau (Inisiasi Menyusui Dini) sesaat setelah anak dilahirkan dan memberikan asupan gizi yang baik terutama sampai anak berusia 2 tahun. Dan juga harus selalu memantau pertumbuhan anak agar jika terdeteksi adanya gangguan pertumbuhan bisa segera diatasi. Menjaga kebersihan lingkungan juga sangat penting karena penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh
dan terhambatnya pertumbuhan. Lebih lanjut dalam materi ini dr. Marina juga mengingatkan bahwa status gizi remaja putri atau pra nikah memiliki kontribusi besar pada kesehatan selama kehamilan dan kelahiran jika suatu saat nanti dia menjadi seorang ibu.
Anak stunting biasanya tinggi badannya dibawah rata-rata anak seusianya, perhatian dan memori belajar rendah serta lebih pendiam. Saya kemudian berusaha mengingat-ingat apakah Qia dan Aqsha mengalami ganggungan pertumbuhan seperti yang disampaikan dalam materi tersebut. Alhamdulillah sepertinya tidak ada. Tapi tentu saja di luar sana masih banyak anak yang terancam kondisi ini. Untuk itu, kita sebagai orang tua nggak bisa mengabaikan hal ini. Apalagi kalau ternyata lingkungan sekitar kita belum teredukasi mengenai hal ini, maka kewajiban kita untuk menyampaikan informasi ini.
0 Comments