Salah Kaprah Sekolah Indonesia

Sekira setahun yang lalu, saya berkunjung ke kampus untuk sebuah keperluan. Alhamdulillah bertemu dengan salah satu dosen yang cukup akrab dengan saya, dan ternyata beliau sudah menjadi Ketua Jurusan. Mengetahui saya menjadi guru di sebuah sekolah Islam Terpadu, tanpa tunggu lama beliau menyahut tegas sambil sedikit memukul meja kerjanya, "Gimana sih teman-teman SIT ini?! Susah sekali diberikan masukan?!"

Sejak awal bergabung dengan Sekolah Islam Terpadu (SIT), banyak hal yang membuat saya merasa janggal dengan sistem dan kurikulum lembaga tersebut. Tapi semua perasaan itu saya coba tepis karena nyatanya SIT tetaplah memberi banyak kontribusi positif untuk dunia pendidikan Indonesia. Lagipula, Jaringan Sekolah Islam Terpadu bukanlah kumpulan orang-orang iseng yang tiba-tiba ingin membuat sekolah. Ada pakar dan praktisi berpengalaman yang mengembangkannya. Lalu ketika mendengar dosen saya mengatakan hal tersebut, saya pun langsung tertarik untuk menyimak kelanjutan protes beliau.

Bagi orang-orang yang cukup concern dengan perkembangan JSIT, tentu sudah tahu bahwa sekolah-sekolah di bawah naungannya cukup lekat dengan komunitas partai tertentu. Menariknya, dosen saya tersebut merupakan salah satu Dewan Syariah di salah satu DPD-nya. Itu sebabnya beliau mengatakan 'teman-teman' ketika ingin menyampaikan protes kepada saya. Beliau sendiri menyekolahkan ketiga anaknya di SIT, sebagai bentuk keberpihakan ideologi tentunya. Namun saya memahami, sebagai alumni MAN-PK tentu kwalitas anaknya yang sekolah di SIT jauh dibanding dengan beliau dulu.

***

Awalnya saya ingin memberi judul tulisan ini 'Salah Kaprah Sekolah Islam Terpadu', karena selama 5 tahun menjadi guru di SIT saya mengalami dan mendengar banyak sekali kritik tentang lembaga ini. Tapi seorang teman melarang, khawatir saya dibully fans hardcore SIT, apalagi saya mantan guru SIT. Kalau judulnya tentang SIT nanti akan mudah orang nyasar ke sini dan jadi menyesatkan banyak orang. 😅  Akhirnya uneg-uneg ini pun mengendap lama sekali. Sampai akhirnya hari ini saya tuliskan juga. Daripada jadi penyakit dalam pikiran.

Kritikan terhadap SIT bukan hanya saya terima dari luar, tapi juga dari rekan sesama guru SIT. Terus terang saya tidak peduli dengan kritikan yang sifatnya politis, karena nyatanya memang tidak seekstrim itu. Kalau ada yang bilang murid-murid SIT diarahkan untuk jadi kader partai tertentu, jangan percaya karena proses kaderisasi partai yang sering disalahpahami orang-orang itu terlalu rumit. Kalian sudah bersama dengan komunitas mereka puluhan tahun pun belum tentu dianggap kader. 😁 Beberapa SIT memang ada yang seperti itu, tapi tidak bisa digeneralisir ke semua SIT. Belum lagi sekarang banyak bermunculan sekolah berlabel SIT namun berbeda sistem dan kurikulum dengan SIT yang berada dibawah naungan JSIT.

Salah satu hal yang lama menjadi beban pikiran saya adalah pembangunan karakter yang selama ini menjadi 'jualan' SIT justru banyak dipandang miring oleh praktisi maupun guru-guru yang saya kenal. Pernah seorang teman mengatakan kepada saya, bahwa dia selalu memisahkan murid dari SIT dengan sekolah lain di bimbelnya karena murid-murid dari SIT yang sulit diatur. Lain kesempatan seorang teman mengatakan bahwa murid-murid di sekolahnya sangat manipulatif. Kalau ada tamu ke sekolah mereka menjadi anak-anak shalih dan shalihah, tapi begitu tamu pergi maka mereka akan kembali ke tabiat aslinya. Seorang teman yang mengajar di SMP IT mengatakan bahwa murid lulusan SD Negeri lebih mudah 'dipegang' dibanding lulusan SDIT. Pendapat saya?! Setuju. 😌

Lebih jauh lagi, sebagai alumni pesantren saya sendiri menilai kwalitas lulusan SIT masih jauh sekali dari ideal. Persis seperti yang disampaikan oleh dosen saya, anaknya yang sudah kelas XI dan sekolah di Boarding School masih saja gagap jika diajak ngobrol bahasa Arab dengan Abinya di rumah. Standar beliau tentu lebih sesuai karena beliau pun bukan alumni pesantren, melainkan MAN. Sama-sama sekolah berasrama, tapi muatan belajarnya berbeda. Kasihan, rugi waktu dan biaya. Di banyak tempat sekarang mulai bermunculan sekolah Islam lain yang lebih komprehensif mengajarkan ilmu Islam yang katanya bermanhaj salafi. Banyak yang membuktikan bahwa sekolah-sekolah tersebut mulai lebih diminati karena biaya lebih terjangkau dan kwalitas lebih baik dari SIT. Ada juga Kuttab yang mulai menarik perhatian banyak orang karena menawarkan konsep pendidikan yang lebih sederhana namun mendasar. Jangan salahkan saya kalau saya jadi makin kasihan dengan SIT karena sering saya dengar praktisi SIT justru nyinyir ke sekolah-sekolah tersebut dan orang-orang yang memilihnya.

Pernah rekan sesama guru di sekolah mengutarakan kebingungannya kepada saya. Apa yang salah dengan SIT sehingga standar lulusannya tidak sesuai dengan yang diharapkan guru-gurunya. Mungkin orang tidak melihatnya, tapi saya sendiri sebagai guru sering merasa pihatin. Murid-murid yang harus menghafal Al-Quran walaupun bacaannya belum baik, pengamalan fiqh ibadah yang banyak salah, pemahaman aqidah yang tidak lengkap, dan banyak lagi gap yang terjadi di SIT membuat saya tak pernah merekomendasikannya ke orang terdekat sebagai sekolah pilihan. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, SIT terlalu banyak maunya tapi tidak tahu cara mengelolanya. Sayangnya, orang-orangnya sulit diberi masukan. Saya tahu karena dosen saya yang memberi tahu. ✌ Kalau seorang Doktor lulusan Madinah pun ditolak argumentasinya, apalagi saya yang cuma lulusan lokal.

Suatu hari, seorang ustadz juga pernah menyampaikan kritik di forum guru-guru SIT yang saya ikuti. Beliau mengatakan, sebuah sistem bisa saja membuat kesalahan. Dalam sistem yang dibuat sebuah lembaga pendidikan Islam misalnya, bisa saja satu atau beberapa muridnya menentang aturan. Itu lumrah, sunnatullah. Tapi jika ada sekolah Islam yang sudah berdiri puluhan tahun dan tetap harus menggiring murid-muridnya setiap sholat berjamaah di masjid sekolah, berarti ada yang salah dengan proses penanaman nilai selama ini. Kenapa masih dibiarkan?! 

Saya pernah gagal paham dengan aturan sekolah tempat saya mengajar yang menghapus program bahasa Inggris dan Arab karena dianggap membebani murid, dan mewajibkan evaluasi tertulis untuk kajian Islam yang frekuensi pertemuannya paling banyak hanya 2 kali per bulan. Menganggap memberi hukuman menyapu halaman tidak ada kaitannya dengan proses pembelajaran tapi memakai teori-teori dari Barat untuk diberikan dalam materi pelatihan. Tidakkah kita tahu bahwa di luar negeri hukuman sosial masih eksis sampai hari ini dan dianggap masih efektif untuk menanggulangi kenakalan anak?! Kenapa terlalu fobia dengan hukuman berdiri di depan tiang bendera selama dua jam pelajaran?!

***

Makin lama isu tentang buruknya kwalitas pendidikan di Indonesia semakin meluas. Beberapa tahun lalu pernah dalam sebuah berita disampaikan bahwa kwalitas pendidikan Indonesia kalah 128 tahun dibanding negara lain. Kesalahan-kesalahan disampaikan, sekolah-sekolah swasta bermunculan untuk memberikan alternatif/pilihan pendidikan bahkan jauh sebelum isu itu muncul. Sekolah Islam Terpadu pun hadir sebagai alternatif sekolah Islam yang mengklaim bisa menanamkan karakter keIslaman lebih dalam kepada muridnya dibanding sekolah berlabel Islam yang sebelumnya sudah ada. Tapi ternyata hasilnya belum signifikan. Bahkan hadirnya boarding school di JSIT masih belum sebaik pesantren yang sekarang makin memoles diri tanpa meninggalkan tradisi.

Banyak sekali yang ingin saya tulis di sini, tapi lagi-lagi saya khawatir nanti dianggap fitnah atau black campaign. Pada akhirnya saya memublikasikan ini hanya karena saya yakin bahwa saya tidak sendiri. Paling tidak kritik di laman JSIT ini cukup mewakili sebagian kecil koreksi yang perlu diperhatikan oleh JSIT.




Post a Comment

0 Comments