Aku ingin dalam
hidupku, seluruh hidupku kubaktikan untukmu. Semua waktuku, tenagaku,
apapun kukorbankan agar kau bahagia di sisiku seperti seharusnya kau
juga membuatku bahagia di sisimu. Kita berbincang tentang masa depan,
harapan, dan segala sesuatu tentang kebahagiaan yang kita impikan.
Aku sangat ingin, kau merinduiku saat aku tak ada di sampingmu. Menyambut hangat kedatanganku ketika kita berjumpa kembali dari keberpisahan. Merajut cinta, berbagi kasih sayang yang membuat hidup terasa lebih bermakna.
Aku ingin, membanggakanmu dihadapan semua orang. Bahwa kau adalah pelindungku, bahwa kau adalah orang yang pertama kali akan membelaku jika mengalami kesulitan. Bahwa kau adalah orang yang akan selalu ada disaat aku membutuhkan keteduhan dan kedamaian.
Aku ingin, kau memegang tanganku ketika aku lelah. Kau kuatkan kakiku ketika aku jatuh. Dan mungkin, kita bisa berjalan bersama beriringan menikmati indahnya matahari terbenam di sore hari sambil kau ceritakan sebuah kisah indah untukku.
Aku ingin semua itu, sebelum aku tahu bahwa ternyata kau tidak bisa kumiliki. Bahwa ternyata kau sama sekali tak pernah mengharapkanku. Bahwa apa yang selalu kau katakan padaku adalah dusta yang menyayat hati. Bahwa kau telah pergi meninggalkanku dengan luka dan dendam di qalbu.
Aku tidak ingin membencimu, meski aku tahu kau benar-benar tidak pantas untuk dicintai bahkan dikasihani. Tapi apakah sanggup aku lupakan perlakuanmu padaku yang sungguh tak mungkin dilakukan seorang kepada yang dikasihinya? Kau berkhianat, dan aku tetap –tak boleh- membencimu.
Apakah kau pernah tahu, seberapa dalam luka yang kau torehkan padaku dan yang lain? Kau bahkan kemudian memilih hidup dengan bayang-bayang seseorang yang tak akan pernah kau temui. Diakah yang kau cintai? Atau juga hanya pelampiasan? Berkali aku coba untuk memahamimu tapi justru hanya luka yang bertambah dalam aku dapatkan dalam sukmaku.
Aku ingin mencintaimu. Tapi siapapun juga pasti tak akan bisa menerima dirimu sebagai yang dicinta. Aku ingin membencimu. Tapi aku terjebak pada keadaan yang tak mengizinkanku menaruh dendam padamu.
Aku sangat ingin, kau merinduiku saat aku tak ada di sampingmu. Menyambut hangat kedatanganku ketika kita berjumpa kembali dari keberpisahan. Merajut cinta, berbagi kasih sayang yang membuat hidup terasa lebih bermakna.
Aku ingin, membanggakanmu dihadapan semua orang. Bahwa kau adalah pelindungku, bahwa kau adalah orang yang pertama kali akan membelaku jika mengalami kesulitan. Bahwa kau adalah orang yang akan selalu ada disaat aku membutuhkan keteduhan dan kedamaian.
Aku ingin, kau memegang tanganku ketika aku lelah. Kau kuatkan kakiku ketika aku jatuh. Dan mungkin, kita bisa berjalan bersama beriringan menikmati indahnya matahari terbenam di sore hari sambil kau ceritakan sebuah kisah indah untukku.
Aku ingin semua itu, sebelum aku tahu bahwa ternyata kau tidak bisa kumiliki. Bahwa ternyata kau sama sekali tak pernah mengharapkanku. Bahwa apa yang selalu kau katakan padaku adalah dusta yang menyayat hati. Bahwa kau telah pergi meninggalkanku dengan luka dan dendam di qalbu.
Aku tidak ingin membencimu, meski aku tahu kau benar-benar tidak pantas untuk dicintai bahkan dikasihani. Tapi apakah sanggup aku lupakan perlakuanmu padaku yang sungguh tak mungkin dilakukan seorang kepada yang dikasihinya? Kau berkhianat, dan aku tetap –tak boleh- membencimu.
Apakah kau pernah tahu, seberapa dalam luka yang kau torehkan padaku dan yang lain? Kau bahkan kemudian memilih hidup dengan bayang-bayang seseorang yang tak akan pernah kau temui. Diakah yang kau cintai? Atau juga hanya pelampiasan? Berkali aku coba untuk memahamimu tapi justru hanya luka yang bertambah dalam aku dapatkan dalam sukmaku.
Aku ingin mencintaimu. Tapi siapapun juga pasti tak akan bisa menerima dirimu sebagai yang dicinta. Aku ingin membencimu. Tapi aku terjebak pada keadaan yang tak mengizinkanku menaruh dendam padamu.
Kini, aku hanya ingin bertanya satu hal padamu. Sosok yang tak pernah ingin kulihat lagi dalam hidupku. Masih bisakah kita menyebut diri sebagai keluarga, dan haruskah aku masih memanggilmu sebagai Ayah? Sementara tiap kudengar suaramu, kubayangkan wajahmu,, hanya ada luka dan air mata yang tersisa untukku?
0 Comments